Find us on Google+ Ekologi Nusantara: WIN-WIN SOLUTION

Sabtu, 15 September 2012

WIN-WIN SOLUTION

Kalimantan sebuah contoh kasus dimana sumber-sumber kehidupan masyarakat berada diambang kehancuran akibat over-eksploitasi Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE).  Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dari pelaksana negara, membuat pembangunan berjalan tanpa ada upaya untuk mencegah perusakan lingkungan, sementara di depan mata  masyarakat lokal semakin termarjinalkan haknya.
 
Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia selama ini, semuanya bermula dari paradigma pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi. Dengan menjadikan faktor ekonomi sebagai unsur utama, menimbulkan dampak diabaikannya faktor lingkungan dalam pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan.
Pendekatan yang terlalu berorientasi memacu pertumbuhan ekonomi, membuat pemerintah daerah memaksakan target PAD dengan menggusur sumber-sumber kehidupan alami masyarakat lokal. Potensi SDAE diperlakukan sebagai aset dan komoditi  yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok investor. Kepemilikan dan kontrol SDAE ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan. 
Investor besar ini dianggap sebagai juru selamat yang akan memberikan kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sang juru selamat akan mendapatkan berbagai fasilitas perlindungan hukum dengan berbagai kemudahan peraturan dan insentif yang akan membuat mereka betah dan terus meningkatkan investasinya di daerah.
Di seluruh Kalimantan (yang meliputi wilayah Indonesia, Brunei dan Malaysia), eskalasi konflik antara masyarakat lokal melawan para investor semakin bertambah rumit dengan sikap pemerintah yang terus mendiamkan kasus ini. Konflik dan permasalahan lingkungan yang berlangsung dianggap sebagai sebuah harga dari investasi pembangunan. Tidak pernah ada perhatian serius para pengambil kebijakan terhadap masalah ketidakadilan sosial ini.
Walaupun industri ekstraktif ini telah menimbulkan berbagai kerugian masyarakat, akan tetapi tidak pernah ada tindakan hukum yang tegas terhadap investor yang terbukti terlibat kejahatan lingkungan. Para investor ini sangat lihai memainkan hukum dengan mengulur-ulur waktu penyelesaian ganti rugi kepada masyarakat. Sebagai akibatnya muncullah berbagai kejahatan lingkungan hidup di berbagai wilayah Indonesia yang ditandai dengan terjadinya kerusakan lingkungan berupa pencemaran dan bencana alam yang terjadi secara beruntun di seluruh Negeri.
Akibatnya yang menyedihkan dari hari ke hari korban terus bertambah yang sebagian besar korbannya adalah masyarakat lokal yang tidak berdaya di depan hukum. Seperti kisah si gajah melawan semut, dimana para investor besar akan melindas masyarakat dengan mengandalkan kekuatan modal mereka yang besar  untuk membeli apa saja yang mereka inginkan.   
Masyarakat yang menjadi korban konflik lingkungan menjadi contoh nyata dari salah urus pengelolaan sumberdaya alam dan energi yang penuh ketimpangan. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat sebagai sumber penghidupan yang utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan politik melekat padanya.   Sumber penghidupan dilihat dari hanya dari nilai ekonomis saja. Sumberdaya alam dikeruk hanya untuk batubara, sumberdaya pertanian disulap hanya untuk sawit belaka, dan sumberdaya hutan disempitkan menjadi kayu. 
Tulisan ini akan membuka mata hati, kita ingin mencari solusi yang jernih pengelolaaan SDAE dengan menjadikan amanah kepada pihak negara untuk mengelola sumber daya alam dan energi milik rakyat secara adil.

Fakta privatisasi
Hasil dari investasi modal asing dan privatisasi di Indonesia, sekarang ini dapat kita lihat dengan banyaknya perusahaan asing yang beroperasi. Dengan bagusnya potensi SDAE, ditambah aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk menanamkan modalnya.  Akan tetapi semakin hari perangkap privatisasi ini semakin tampak dalam hal penguasaan oleh pihak asing dalam pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Mereka menguasai berbagai aset-aset SDAE milik publik seperti pertambangan minyak dan gas,  listrik, dan lain sebagainya. (Kompas, 14 Februari 2005).
Marilah kita lihat bagaimana pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan investor asing untuk menguasai sumber daya alam dan energi yang strategis. Kapling-kapling itu meliputi sejumlah blok migas terkaya di seluruh kepulauan Indonesia seperti : 
No
Perusahaan /
 Asal
 Jenis Tambang
Produksi
Lokasi
1
Santa Fe (AS)
Minyak
41.600 barel/hari
1. Jabung / Jambi
2.  Pagatan/Kalsel
3. Tuban /Jatim
2
Shell (Belanda)
Minyak
10.000 barel/hari
1. Jabung / Jambi
2. Pagatan /Kalsel
3. Tuban /Jatim
3
Freeport (AS)
emas
686.300 ons
1.Timika / Papua
Tembaga
350,6 juta pounds
4
Newmont (AS)
emas
364.300 ons
1. Batu Hijau/
    Sumbawa
2. Minahasa/Sulut
Tembaga
521 juta pounds
5
Unocal (Inggris) –Texaco (Australia)
Batubara
13,9 juta metrik ton
1. Tanjung Bara /  
     Kaltim
6
Chevron (AS)-
Caltex ( AS)
Minyak
746.000 barel/hari
1. Sumut
2. Riau
Gas
68 juta kubik feet
7
Repsol YPF (AS)-
Maxus (Spanyol)
Minyak
140.000 barel/hari
1. Laut Jawa/Jatim
2. Jambi
3. Sulsel

Gas
24,4 juta kubik feet
8
Total (AS)-
FinaElf (Prancis)
Minyak
81.200 barel/hari
1. Balikpapan/
     Kaltim
2. Bontang/Kaltim
3. Jambi
Gas
684 juta kubik feet
9
British Petroleum (Inggris)-
Arco (AS)
Minyak
71.500 barel/hari
1. Laut Jawa
2. Buru/Maluku
3. Berau/Papua
Gas
298 juta kubik feet
10
Conoco (AS)
Minyak
64.000 barel/hari
1. Laut Natuna
2. Warim/Papua
11
ExxonMobil (AS)
Minyak
42.300 barel/hari
1. Aceh
2. Laut Natuna
3. Cepu/ Selat  
    Madura
Gas
794 juta kubik feet
12
Gulf Resources (Kanada)
Minyak
45.100 barel/hari
1. Sumut
2. Bawean
3. Selat Makassar
Gas
166 juta kubik feet
13
Unocal (AS)
Minyak
63.900 barel/hari
1. Bontang/ Kaltim
2. Teweh/Kalteng
3. Selat Makassar
Gas
163 juta kubik feet

Sumber   :  FORUM  Keadilan No. 30 Oktober 2001

Di Kalimantan Tengah sampai saat ini baru 2 perusahaan AS  yang menggarap potensi SDAE yaitu perusahaan minyak dan gas Unocal (AS) di daerah Muara Teweh dan perusahaan tambang emas Ensbury Kalteng Mining (AS) di daerah Seruyan - Kobar. PT Ensbury telah diberi kuasa pertambangan dalam areal hutan seluas 21.500 hektar yang merupakan kawasan pertambangan emas rakyat Pangkut.  Menurut gubernur Kalteng dengan masuknya investor AS diharapkan agar perusahaan ini bisa cepat berproduksi. (Palangka Post, 6 Juli 2006).
Win-win solutions
Dalam pandangan orang Amerika dikenal prinsip ‘no free lunch ’, artinya tidak ada makan siang yang gratis. Jika diterapkan di sini artinya semua bantuan dan kerjasama yang diberikan kepada siapa saja harus mendapat nilai yang sama. Oleh karena itu dalam berbagai kebijakan ekonomi AS senantiasa diimbangi oleh nilai tawar politik yang serupa kepada Indonesia. Mari kita lihat dalam kasus Papua yang harus digadaikan sebagai kompensasi  berintegrasi dengan Indonesia.
Dimulai sejak tahun 1967, perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia (FI). Investor asing pertama ini pada Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapatkan konsesi selama 30 tahun. Dalam kesepakatan ini pemerintah membolehkan perusahaan mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri). Akan tetapi Pemerintah Indonesia tidak mendapat kompensasi apapun. Kebijakan ini sebagai kompensasi bantuan pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia yang ketika itu mencoba melepaskan Irian Barat (nama lama) dari pendudukan Belanda (penjajah lama).
Ternyata kasus ini kembali berulang ketika Exxon Mobil mencaplok Blok Cepu dengan penguasaan 100 % saham mengalahkan Pertamina. Harga penjualan ini sebagai kompensasi dukungan Kongres AS untuk tetap berintegrasinya Papua dengan Indonesia. Memang pada saat ini di kalangan rakyat Papua, banyak terdengar keinginan merdeka melepaskan diri dari Indonesia. Oleh AS kesempatan ini merupakan sebuah negosiasi yang setimpal merupakan win-win solution ketika pemerintah Indonesia menyerahkan blok Cepu kepada Exxon Mobil Amerika ( Al Wa’ie No. 80 April 2007).
Telah sejak lama konglomerasi modal AS menarik keuntungan besar dari industri ekstraktif di Indonesia. Selama 40 tahun terakhir Amerika Serikat menjadi pemain utama yang mendominasi berbagai sektor investasi ini. Marilah kita melihat kekuasaan investor Amerika di Indonesia :
·         Dalam 4 tahun terakhir, keuntungan AS dari ekspor non migas ke Indonesia mencapai USD 7,143 Milyar. 
·         Hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak Amerika Serikat seperti Exxon / Caltex, Atlantic Richfield / Arco, dan Mobil Oil.
·         Chevron /Caltex dari Riau saja AS mengontrol langsung 41% produksi migas Indonesia.
·         Freeport merupakan penambang raksasa AS yang menguasai tambang emas terbesar di dunia. Dari tambangnya di Papua, Freeport menjadi pemasok emas No 2 untuk AS. Freeport juga menguasai 50% cadangan emas Indonesia.
·         Dua perusahaan tambang terbesar di AS, Freeport dan Newmont memiliki konsesi tambang emas seluas 5,9 juta ha di seluruh Indonesia.
·         Sedikitnya terdapat 4 perusahaan tambang di hutan lindung yang didanai oleh  bank dan perusahaan AS, yaitu : Citigroup  Bank, Bank of America, JP Morgan Chase & Co, Merril Lynch Goldman, Sachs & Co. Morgan Stanley.
·         Empat perusahaan tambang migas AS (Amerada Hess LTD, Exxon Mobil Oil Inc, Chevron, LTD dan Conoco Philips, LTD) memiliki 26 blok migas di 11 propinsi di Indonesia meliputi  luasan 9,8 juta ha. 
·         Kontrak Exxon di Blok D-Alpha di Natuna yang memiliki potensi cadangan sebesar 54,79 tcf. Kontrak Blok Natuna sangat merugikan Indonesia karena kontrak bagi hasil 100% untuk Exxon, negara hanya memperoleh pajak.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa tujuan utama AS dan negara-negara kapitalis dalam strategi pasar global ini adalah membuka pasar seluruh negara-negara di dunia bagi produk-produk unggulan dan investasi-investasi mereka. Dengan begitu, negara-negara yang disebut sebagai negara-negara berkembang itu akan senantiasa berada di bawah hegemoni AS dalam bidang ekonomi dan perdagangan serta tidak berpeluang membangun ekonominya sendiri di atas basis-basis yang kuat dan kokoh.
Padahal, basis ekonomi yang kokoh akan bisa membebaskan ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang dari negara-negara kaya. Dengan begitu, nantinya negara-negara berkembang itu tidak lagi menjadi pasar bagi barang-barang konsumtif (consumer goods) yang diproduksi negara-negara kaya.

Persaingan tidak seimbang
Secara ekonomis, dampak dari privatisasi adalah membuka peluang masuknya modal (investasi) dan produk dari negara-negara kaya seperti AS dan Eropa melalui pasar ekonomi yang sebelumnya terproteksi dan tertutup. Dengan Pasar Bebas ini diharapkan lenyapnya hambatan-hambatan tarif maupun non-tarif yang selama ini ada. 
Persoalannya, persaingan ini tidak seimbang. Dengan perbedaan struktur, perkembangan ekonomi, dan ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara terbelakang tidak akan mampu bersaing melawan negara maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara maju dalam perdagangan dunia yang membuat mereka semakin untung dan negara terkebelakang hanya menjadi obyek dalam pasar bebas ini.
Apalagi kalau perusahan-perusahaan transnasional ini masuk pada industri yang sebenarnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah Ć¢amah) seperti minyak, air, atau tambang emas; pastilah negara-negara berkembang ini akan kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal dan teknologi, kekayaan alam negara-negara terbelakang itu disedot habis oleh negara maju. Perdagangan bebas dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara terbelakang pun semakin termiskinkan. Mereka menjadi kuli di tanah air mereka sendiri.
Celakanya lagi, sektor-sektor industri yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat seperti pertanian dan sektor informal disikat habis akibat ketidakseimbangan persaingan ini. Tanah pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik pemilik modal besar. Setelah mereka berhasil menguras habis kekayaan Indonesia, banyak masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan hajat hidupnya karena mereka harus membayar lebih mahal daripada yang seharusnya mereka bayarkan.
Akibat yang sekarang sudah dapat dirasakan adalah bukannya persaingan bebas yang terjadi, yang ada malahan adalah dominasi negara kaya terhadap negara berkembang dalam hal modal dan produk.  Bahkan lebih jauh, dengan Pasar Bebas, produk-produk yang berbahaya yang tidak sesuai dengan budaya setempat dapat masuk dan akhirnya dapat menghancurkan ekonomi lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar