Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di
Indonesia selama ini, semuanya bermula dari paradigma pembangunan yang mementingkan
pertumbuhan ekonomi. Dengan menjadikan faktor ekonomi sebagai unsur utama,
menimbulkan dampak diabaikannya faktor lingkungan dalam pengambilan keputusan oleh
para pembuat kebijakan.
Pendekatan yang terlalu berorientasi memacu
pertumbuhan ekonomi, membuat pemerintah daerah memaksakan target PAD dengan
menggusur sumber-sumber kehidupan alami masyarakat lokal. Potensi SDAE
diperlakukan sebagai aset dan komoditi yang bisa dieksploitasi untuk
keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok investor. Kepemilikan dan kontrol SDAE
ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan.
Investor besar ini dianggap sebagai juru
selamat yang akan memberikan kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Sang juru selamat akan mendapatkan berbagai fasilitas perlindungan hukum
dengan berbagai kemudahan peraturan dan insentif yang akan membuat mereka betah
dan terus meningkatkan investasinya di daerah.
Di seluruh Kalimantan (yang meliputi wilayah
Indonesia, Brunei dan Malaysia), eskalasi
konflik antara masyarakat lokal melawan para investor semakin bertambah rumit
dengan sikap pemerintah yang terus mendiamkan kasus ini. Konflik dan
permasalahan lingkungan yang berlangsung dianggap sebagai sebuah harga dari
investasi pembangunan. Tidak pernah ada perhatian serius para pengambil
kebijakan terhadap masalah ketidakadilan sosial ini.
Walaupun industri ekstraktif ini telah
menimbulkan berbagai kerugian masyarakat, akan tetapi tidak pernah ada tindakan
hukum yang tegas terhadap investor yang terbukti terlibat kejahatan lingkungan.
Para investor ini sangat lihai memainkan hukum dengan mengulur-ulur waktu
penyelesaian ganti rugi kepada masyarakat. Sebagai akibatnya muncullah berbagai
kejahatan lingkungan hidup di berbagai wilayah Indonesia yang ditandai dengan
terjadinya kerusakan lingkungan berupa pencemaran dan bencana alam yang terjadi
secara beruntun di seluruh Negeri.
Akibatnya yang menyedihkan dari hari ke hari
korban terus bertambah yang sebagian besar korbannya adalah masyarakat lokal
yang tidak berdaya di depan hukum. Seperti kisah si gajah melawan semut, dimana
para investor besar akan melindas masyarakat dengan mengandalkan kekuatan modal
mereka yang besar untuk membeli apa saja
yang mereka inginkan.
Masyarakat yang menjadi korban konflik
lingkungan menjadi contoh nyata dari salah urus pengelolaan sumberdaya alam dan
energi yang penuh ketimpangan. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat
sebagai sumber penghidupan yang utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan
politik melekat padanya. Sumber penghidupan dilihat dari hanya
dari nilai ekonomis saja. Sumberdaya alam dikeruk hanya untuk batubara,
sumberdaya pertanian disulap hanya untuk sawit belaka, dan sumberdaya hutan
disempitkan menjadi kayu.
Tulisan ini akan membuka mata hati, kita ingin
mencari solusi yang jernih pengelolaaan SDAE dengan menjadikan amanah kepada
pihak negara untuk mengelola sumber daya alam dan energi milik rakyat secara
adil.
Fakta
privatisasi
Hasil dari investasi modal asing dan privatisasi
di Indonesia, sekarang ini dapat kita lihat dengan banyaknya perusahaan asing
yang beroperasi. Dengan bagusnya potensi SDAE, ditambah aturan-aturan yang
menguntungkan, Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk menanamkan
modalnya. Akan tetapi semakin hari perangkap
privatisasi ini semakin tampak dalam hal penguasaan oleh pihak asing dalam pengaplingan
atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Mereka menguasai berbagai aset-aset
SDAE milik publik seperti pertambangan minyak dan gas, listrik, dan lain sebagainya. (Kompas,
14 Februari 2005).
Marilah
kita lihat bagaimana pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi
persekongkolan investor asing untuk menguasai sumber daya alam dan energi yang
strategis. Kapling-kapling itu meliputi sejumlah blok
migas terkaya di seluruh kepulauan Indonesia seperti :
No
|
Perusahaan
/
Asal
|
Jenis Tambang
|
Produksi
|
Lokasi
|
1
|
Santa
Fe (AS)
|
Minyak
|
41.600 barel/hari
|
1. Jabung /
Jambi
2. Pagatan/Kalsel
3. Tuban /Jatim
|
2
|
Shell
(Belanda)
|
Minyak
|
10.000 barel/hari
|
1. Jabung /
Jambi
2. Pagatan
/Kalsel
3. Tuban /Jatim
|
3
|
Freeport
(AS)
|
emas
|
686.300 ons
|
1.Timika / Papua
|
Tembaga
|
350,6 juta pounds
|
|||
4
|
Newmont
(AS)
|
emas
|
364.300 ons
|
1. Batu Hijau/
Sumbawa
2.
Minahasa/Sulut
|
Tembaga
|
521 juta pounds
|
|||
5
|
Unocal
(Inggris) –Texaco (Australia)
|
Batubara
|
13,9 juta metrik ton
|
1. Tanjung Bara /
Kaltim
|
6
|
Chevron
(AS)-
Caltex
( AS)
|
Minyak
|
746.000 barel/hari
|
1. Sumut
2. Riau
|
Gas
|
68 juta kubik feet
|
|||
7
|
Repsol
YPF (AS)-
Maxus
(Spanyol)
|
Minyak
|
140.000 barel/hari
|
1. Laut
Jawa/Jatim
2. Jambi
3. Sulsel
|
Gas
|
24,4 juta kubik feet
|
|||
8
|
Total
(AS)-
FinaElf
(Prancis)
|
Minyak
|
81.200 barel/hari
|
1. Balikpapan/
Kaltim
2. Bontang/Kaltim
3. Jambi
|
Gas
|
684 juta kubik feet
|
|||
9
|
British
Petroleum (Inggris)-
Arco
(AS)
|
Minyak
|
71.500 barel/hari
|
1. Laut Jawa
2. Buru/Maluku
3. Berau/Papua
|
Gas
|
298 juta kubik feet
|
|||
10
|
Conoco
(AS)
|
Minyak
|
64.000 barel/hari
|
1. Laut Natuna
2. Warim/Papua
|
11
|
ExxonMobil
(AS)
|
Minyak
|
42.300 barel/hari
|
1. Aceh
2. Laut Natuna
3. Cepu/ Selat
Madura
|
Gas
|
794 juta kubik feet
|
|||
12
|
Gulf
Resources (Kanada)
|
Minyak
|
45.100 barel/hari
|
1. Sumut
2. Bawean
3. Selat
Makassar
|
Gas
|
166 juta kubik feet
|
|||
13
|
Unocal
(AS)
|
Minyak
|
63.900 barel/hari
|
1. Bontang/
Kaltim
2. Teweh/Kalteng
3. Selat
Makassar
|
Gas
|
163 juta kubik feet
|
Sumber :
FORUM Keadilan No. 30 Oktober
2001
Di Kalimantan
Tengah sampai saat ini baru 2 perusahaan AS yang menggarap potensi SDAE yaitu perusahaan
minyak dan gas Unocal (AS) di daerah Muara Teweh dan perusahaan tambang emas
Ensbury Kalteng Mining (AS) di daerah Seruyan - Kobar. PT Ensbury telah diberi
kuasa pertambangan dalam areal hutan seluas 21.500 hektar yang merupakan
kawasan pertambangan emas rakyat Pangkut.
Menurut gubernur Kalteng dengan masuknya investor AS diharapkan agar
perusahaan ini bisa cepat berproduksi. (Palangka Post, 6 Juli 2006).
Win-win
solutions
Dalam
pandangan orang Amerika dikenal prinsip ‘no free lunch ’, artinya tidak
ada makan siang yang gratis. Jika diterapkan di sini artinya semua bantuan dan
kerjasama yang diberikan kepada siapa saja harus mendapat nilai yang sama. Oleh
karena itu dalam berbagai kebijakan ekonomi AS senantiasa diimbangi oleh nilai
tawar politik yang serupa kepada Indonesia. Mari kita lihat dalam kasus Papua
yang harus digadaikan sebagai kompensasi
berintegrasi dengan Indonesia.
Dimulai
sejak tahun 1967, perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia
(FI). Investor asing pertama ini pada Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapatkan
konsesi selama 30 tahun. Dalam kesepakatan ini pemerintah membolehkan
perusahaan mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam
negeri). Akan tetapi Pemerintah Indonesia tidak mendapat kompensasi apapun. Kebijakan
ini sebagai kompensasi bantuan pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia
yang ketika itu mencoba melepaskan Irian Barat (nama lama) dari pendudukan
Belanda (penjajah lama).
Ternyata
kasus ini kembali berulang ketika Exxon Mobil mencaplok Blok Cepu dengan
penguasaan 100 % saham mengalahkan Pertamina. Harga penjualan ini sebagai
kompensasi dukungan Kongres AS untuk tetap berintegrasinya Papua dengan
Indonesia. Memang pada saat ini di kalangan rakyat Papua, banyak terdengar
keinginan merdeka melepaskan diri dari Indonesia. Oleh AS kesempatan ini
merupakan sebuah negosiasi yang setimpal merupakan win-win solution
ketika pemerintah Indonesia menyerahkan blok Cepu kepada Exxon Mobil Amerika ( Al
Wa’ie No. 80 April 2007).
Telah sejak lama konglomerasi modal AS menarik
keuntungan besar dari industri ekstraktif di Indonesia. Selama 40 tahun terakhir
Amerika Serikat menjadi pemain utama yang mendominasi berbagai sektor investasi
ini. Marilah kita melihat kekuasaan investor Amerika di
Indonesia :
·
Dalam 4 tahun
terakhir, keuntungan AS dari ekspor non migas ke Indonesia mencapai USD 7,143
Milyar.
·
Hampir semua sumur minyak di Indonesia telah
dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak Amerika Serikat seperti Exxon / Caltex,
Atlantic Richfield / Arco, dan Mobil Oil.
·
Chevron /Caltex dari Riau saja AS mengontrol langsung 41% produksi migas Indonesia.
·
Freeport merupakan
penambang raksasa AS yang menguasai tambang emas terbesar di dunia. Dari
tambangnya di Papua, Freeport menjadi pemasok emas No 2 untuk AS. Freeport juga
menguasai 50% cadangan emas Indonesia.
·
Dua perusahaan
tambang terbesar di AS, Freeport dan Newmont memiliki konsesi tambang emas seluas
5,9 juta ha di seluruh Indonesia.
·
Sedikitnya
terdapat 4 perusahaan tambang di hutan lindung yang didanai oleh bank dan perusahaan AS, yaitu :
Citigroup Bank, Bank of America, JP
Morgan Chase & Co, Merril Lynch Goldman, Sachs & Co. Morgan Stanley.
·
Empat perusahaan
tambang migas AS (Amerada Hess LTD, Exxon Mobil Oil Inc, Chevron, LTD dan
Conoco Philips, LTD) memiliki 26 blok migas di 11 propinsi di Indonesia
meliputi luasan 9,8 juta ha.
·
Kontrak Exxon di
Blok D-Alpha di Natuna yang memiliki potensi cadangan sebesar 54,79 tcf.
Kontrak Blok Natuna sangat merugikan Indonesia karena kontrak bagi hasil 100%
untuk Exxon, negara hanya memperoleh pajak.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa tujuan utama
AS dan negara-negara kapitalis dalam strategi pasar global ini adalah membuka
pasar seluruh negara-negara di dunia bagi produk-produk unggulan dan
investasi-investasi mereka. Dengan begitu, negara-negara yang disebut sebagai
negara-negara berkembang itu akan senantiasa berada di bawah hegemoni AS dalam
bidang ekonomi dan perdagangan serta tidak berpeluang membangun ekonominya
sendiri di atas basis-basis yang kuat dan kokoh.
Padahal, basis ekonomi yang kokoh akan bisa
membebaskan ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang dari negara-negara
kaya. Dengan begitu, nantinya negara-negara berkembang itu tidak lagi menjadi
pasar bagi barang-barang konsumtif (consumer goods) yang diproduksi
negara-negara kaya.
Persaingan tidak seimbang
Secara ekonomis, dampak dari privatisasi
adalah membuka peluang masuknya modal (investasi) dan produk dari negara-negara
kaya seperti AS dan Eropa melalui pasar ekonomi yang sebelumnya terproteksi dan
tertutup. Dengan Pasar Bebas ini diharapkan lenyapnya hambatan-hambatan tarif
maupun non-tarif yang selama ini ada.
Persoalannya,
persaingan ini tidak seimbang. Dengan perbedaan struktur, perkembangan ekonomi,
dan ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara terbelakang tidak akan
mampu bersaing melawan negara maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara
maju dalam perdagangan dunia yang membuat mereka semakin untung dan negara
terkebelakang hanya menjadi obyek dalam pasar bebas ini.
Apalagi
kalau perusahan-perusahaan transnasional ini masuk pada industri yang
sebenarnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah Ć¢amah) seperti
minyak, air, atau tambang emas; pastilah negara-negara berkembang ini akan
kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal dan teknologi, kekayaan alam
negara-negara terbelakang itu disedot habis oleh negara maju. Perdagangan bebas
dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara terbelakang pun semakin
termiskinkan. Mereka menjadi kuli di tanah air mereka sendiri.
Celakanya
lagi, sektor-sektor industri yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat seperti
pertanian dan sektor informal disikat habis akibat ketidakseimbangan persaingan
ini. Tanah pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik pemilik modal
besar. Setelah mereka berhasil menguras habis kekayaan Indonesia, banyak
masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan hajat hidupnya karena mereka harus
membayar lebih mahal daripada yang seharusnya mereka bayarkan.
Akibat yang sekarang sudah dapat dirasakan
adalah bukannya persaingan bebas yang terjadi, yang ada malahan adalah dominasi
negara kaya terhadap negara berkembang dalam hal modal dan produk. Bahkan lebih jauh, dengan Pasar Bebas,
produk-produk yang berbahaya yang tidak sesuai dengan budaya setempat dapat masuk
dan akhirnya dapat menghancurkan ekonomi lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar