Find us on Google+ Ekologi Nusantara: Ekspedisi Penjelajah Dunia

Minggu, 02 Desember 2012

Ekspedisi Penjelajah Dunia


Allah SWT berfirman:
“ Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman “  [QS As Saba (34) : 18].

Ekspedisi Penjelajah Muslim
Peradaban Islam di era kegemilangan selama 10 abad tampil sebagai super power dunia. Pada era dunia Islam menguasai berbagai sektor seperti, ilmu pengetahuan, politik, militer, ekonomi, serta perdagangan. Tak heran jika dunia Islam mampu menguasai wilayah yang terbentang luas meliputi benua Asia, Afrika, dan Eropa.

Kekhalifahan Islam dipandang telah memberi peran utama dalam terjadinya proses globalisasi di masa itu. Dengan ilmu pengetahuan serta kekuatan ekonomi yang dikuasainya, dunia Islam mampu membebaskan begitu banyak wilayah dari keterisolasian.  Para penjelajah, pelaut, sarjana, dan saudagar Muslim telah berjasa menghubungkan dan membuka wilayah yang terisolasi itu dengan dunia Islam.
Para ahli sejarah barat menamakan periode ini sebagai Pax Islamica. Keberhasilan dunia Islam dalam membangun perekonomian global di zaman kekhalifahan tak lepas dari teknologi perkapalan dan navigasi yang dikuasai umat Islam.  Dengan teknologi navigasi dan perkapalan yang canggih pada zamannya, kekhalifahan Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, dan Turki Usmani mampu menjadi kekuatan ekonomi selama berabad-abad.
Para sarjana Muslim mulai mengembangkan teknologi navigasi yang berguna untuk mengarungi lautan, mencapai tujuan serta melewati dan memahami rute yang dituju pada abad ke-8 M. Berbekal teknologi perkapalan dan navigasi pula, para penjelajah Muslim dari Andalusia dan Afrika Utara sukses mengarungi Lautan Atlantik antara abad ke-9 M hingga 14 M. Mereka telah mencapai benua Amerika, sebelum Christopher Columbus menemukannya pada abad ke-15 M. 
Selain itu, peradaban Islam juga menyumbangkan sejumlah peta yang dijadikan panduan para navigator. Salah satu peta yang digunakan pelaut Spanyol, Christopher Columbus, untuk mengarungi Samudera Atlantik adalah peta Al-Idrisi. Penjelajah Muslim lainnya seperti Ibnu Battuta dari Maroko serta Cheng Ho dari Cina juga telah menyumbangkan jalur perjalanan yang dijadikan pegangan para navigator dunia selama berabad-abad. Teknologi navigasi merupakan salah satu kunci keberhasilan peradaban Islam menggenggam dunia.
Columbus dan penjelajah Spanyol dan Portugis lainnya, telah diuntungkan dari pengetahuan geografis dan navigasi kaum Muslim. Karya Al-Masudi Muruj’uz-Zahab(871-957 CE), yang didasarkan atas kompilasi dari para pedagang Muslim dari seluruh Asia dan Afrika. Dua kapten kapal Columbus pada pelayaran pertamanya, dalam kenyataannya, adalah Muslim: Martin Alonso Pinzon yang bertanggung jawab atas kapal Pinta, sementara saudaranya Vicente Yanez Pinzon adalah kapten kapal Nina; keduanya berasal dari Dinasti Maroko Marinid, yang merupakan keturunan dari Sultan Abu Zayan Muhammad III (r. 1362-1366).

Ekspedisi Ibnu Batuttah
Salah satu tokoh penjelajah Muslim yang diakui dunia yaitu Ibnu Battutah karya-karyanya disimpan dunia Barat sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya. ''Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa, Marcopolo (1254 M -1324 M),'' ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi ketangguhan pengembara Muslim itu.
Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia tengah, Asia Tenggara, dan Cina. Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia mencapai 73 ribu mil atau sejauh 117 ribu kilometer. Perjalanannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 tahun setelah Ibnu Battuta.
Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian Marco Polo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Battuta yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu mil itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.
Beliau bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah (1304-1368) merupakan manusia pertama yang mengadakan perjalanan keliling dunia.  Ibnu Batutah lahir di Tangier, Maroko 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu.
Sejak kecil, Ibnu Battuta dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab. Latar belakang Ibnu Battuta begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta adalah seorang teologis, sastrawan puisi dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.
Ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.
Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim.
Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia. ''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah,'' kisah  Ibnu Battuta.
Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah.
Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama dua tahun.
Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battuta, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.
Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putaran kedua, dilalui Ibnu Battuta dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. Ia lalu meneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube.
Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, nusantara, dan Canton (Cina). Kemudian Ibnu Battuta mengembara pula ke Sumatera dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya meneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir.
Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M. Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya.
Sekembali dari perjalanannya selama puluhan tahun ke kampung halamannya, Sultan Maroko memintanya untuk menceritakan kisah perjalanananya yang kemudian dibukukan dengan judul  Rihlah Ibnu Batutahal Musammah Tuhfah al Nuzzar fi Gharaib al Amsar wa Ajaib al Asfar”. Buku ini amat kaya dengan penggambaran dunia dibidang geografi, sejarah, antropologi dan juga kebudayaan dunia.
Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battuta itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Ibnu Batutah telah menyusun laporan-laporan geografi detail mengenai penjelajahan keliling dunia yang dilakukannya hingga pulau-pulau di kawasan nusantara, yang tidak tercatat di bawah kekuasaan Majapahit maupun Sriwijaya. Kisah pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. Barat baru mengetahui kehebatannya setelah tiga abad meninggalnya sang pengembara.
Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M. Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M.

Ekspedisi Laksamana Cheng ho
Selama ini arus Islamisasi yang masuk ke nusantara hanya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah. Munculnya teori tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses pengayaan khazanah kesejarahan kita. Fakta itu bisa ditelusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi di Asia Tenggara. Prof Dr A Dahana berpendapat, perkiraan bahwa Cheng Ho juga menyebarkan Islam dalam ekspedisinya.
Pada masa kunjungan muhibah Laksamana Muslim Cheng Ho pada periode Kaisar Ming (1409-1415) keliling dunia selama 7 kali bagi Kekaisaran Cina dapat terlihat proses Islamisasi di sepanjang ekspedisi pelayarannya. Laksamana Muslim Cheng Ho (Zheng He) ini bahkan telah mendarat di Amerika. Kedatangan Cheng Ho ke Jawa, bersamaan dengan awal proses Islamisasi. Fakta mencatat, usai persinggahannya, banyak suku Tionghoa Muslim yang mendiami pesisir utara Jawa.
Ketika itu banyak pedagang asal Cina bermukim di kawasan pantai utara, dan sebagian mereka beragama Islam. Kedatangan Cheng Ho sekaligus memberikan dukungan bagi para imigran Tionghoa ini agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat. Ada dua alasan yang mendorong Cheng Ho melakukan akulturasi muslim Tionghoa ini yaitu pertama karena para pedagang itu sulit kembali ke tanah Cina akibat tekanan pemerintah, dan kedua mereka yang Muslim merasa lebih bebas menetap di Nusantara.
Cheng Ho adalah juga seorang pemeluk Islam yang taat. Dan karenanya, pada setiap tempat yang didatangi, dia senantiasa menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan.  Menurut Prof Dr AM Juliati Suroyo sebagai pelaksana misi kaisar, Cheng Ho kemudian menjalin hubungan di berbagai bidang dengan penguasa di setiap wilayah yang disinggahinya, baik dari segi politik, ekonomi maupun sosio-kultural. Ekspedisi Cheng Ho selama 32 tahun (1405-1433) telah membawa arti penting bagi upaya membina toleransi antar sesama, dimana Cheng Ho meramunya melewati batas perbedaan etnis, budaya, dan agama.
Di samping itu, mengutip Sumanto al-Qurtubi, Juliati menyatakan kemungkinan besar, Cheng Ho memiliki agenda pribadi untuk turut menyebarkan agama Islam. "Meski begitu, diyakini dakwah yang dilakukan Cheng Ho bukan seperti dakwah yang kita kenal selama ini, melainkan berupa penyebaran nilai-nilai moral agama Islam," tukasnya.

Ekspedisi Pelaut  Nusantara
Diakui oleh bangsa asing melalui tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi masyarakat nusantara merupakan bangsa pelaut, bahari dan pedagang ulung. Dari bukti-bukti sejarah diketahui bahwa sejak masa prasejarah atau milenium pertama masyarakat Nusantara sudah mengarungi lautan luas hingga ke pantai timur Benua Afrika. Perdagangan Nusantara pada masa itu dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan.
Salah seorang arkeolog dari Australia National University Peter Bellwood, dalam bukunya Reader in Archaeology telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.  Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan utama internasional telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Bellwood menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari masa Dinasti Han dan masa sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Sejak awal abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Nusantara bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman memakai cendana untuk membuat tiang-tiang dalam bait Sulaiman, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman mengimpor kayu ini dari tempat-tempat yang jauh yang kemungkinan cendana tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Mengenai kemampuan pelayaran rakyat nusantara, dalam Babat Tanah Jawi versi J.J. Meinnsma menggambarkan betapa kapal layar dari nusantara telah mengarungi samudra jauh sampai ke negeri Sophala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Penjelajajahan itu terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian, seperti Cangkul dan sabit, serta alat persenjataan, yakni Keris yang bahan bakunya harus di cari sampai ke Afrika Timur dengan berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di sana.
Pada abad ke 14 Masehi, pelaut-pelaut Sulawesi sudah bisa membuat perahu yang menjelajahi dunia. Perahu pinisi yang dibuat masyarakat Bugis pada waktu itu sudah bisa berlayar sampai ke Madagaskar di Afrika. Suatu perjalanan mengarungi samudera yang memerlukan tekad yang besar dan keberanian luar biasa. Ini membuktikan bahwa suku Bugis memiliki kemampuan membuat perahu yang mengagumkan, dan memiliki semangat bahari yang tinggi.
Tahun 1154 misalnya Al-Idrisi menyebut bahwa penduduk Zendt di Afrika Timur telah berdagang dengan saudagar dari Zabag (Sumatera atau Jawa). Seorang pengembara Muslim dari Maghribi yang masyhur Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. Ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untukmenyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan keQuilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar.
Sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak pedagang Islam di Tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik, yang saat itu sedang dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat tinggal mereka. Bersama Tuban dan Jepara, pelabuhan Gresik sejak zaman Prabu Airlangga (1019-1041 M) bertahta, telah terjalin hubungan dagang dengan negara-negara asing. Di pantai Tuban banyak ditemukan kepingan uang emas dinar  Arab bertarikh abad ke 9 – 10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah pesat.
Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa Portugal, Tom Pires, yang menyusuri utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni 1513, mencatat dalam jurnalnya, “Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan Mullah, para ulama di datangkan dari Luar.”
Bahkan pada saat itu pelaut barat Vasco da Gama baru memulai penjelajahan pertamanya pada tahun 1497 dalam upaya mencari rempah-rempah, dan menemukan benua-benua baru di timur, yang sebelumnya dirintis Marco Polo. Pada tahun 1509 Lopo Sequira, pelaut Portugis menjumpai sebuah kapal dari Jawa di Pulau Madagaskar. Tahun 1601 pelaut Belanda menemukan pelaut  Aceh telah berdagang di Pulau Comoro (Afrika).
Setelah kehadiran bangsa Eropa di perairan nusantara secara lambat laun, aktivitas bahari pelaut muslim mulai terpinggirkan. Sejak dominasi orang Eropa di dunia bahari Nusantara, para pelaut ini tidak lagi leluasa mengarungi lautan luas, pelayaran mereka menjadi terbatas pada pelayaran lokal. Para nakhoda muslim ini hanya melayani pelayaran antar-pulau atau antar-kota pantai  dalam perdagangan pulau-pulau kecil saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar