Allah SWT berfirman:
“ Dan Kami jadikan antara mereka dan antara
negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang
berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan.
Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan
aman “ [QS
As Saba (34) : 18].
Ekspedisi Penjelajah Muslim
Peradaban Islam di era kegemilangan
selama 10 abad tampil sebagai super power dunia. Pada era dunia Islam menguasai
berbagai sektor seperti, ilmu pengetahuan, politik, militer, ekonomi, serta
perdagangan. Tak heran jika dunia
Islam mampu menguasai wilayah yang terbentang luas meliputi benua Asia, Afrika,
dan Eropa.
Kekhalifahan Islam dipandang telah
memberi peran utama dalam terjadinya proses globalisasi di masa itu. Dengan
ilmu pengetahuan serta kekuatan ekonomi yang dikuasainya, dunia Islam mampu
membebaskan begitu banyak wilayah dari keterisolasian. Para penjelajah, pelaut, sarjana, dan
saudagar Muslim telah berjasa menghubungkan dan membuka wilayah yang terisolasi
itu dengan dunia Islam.
Para ahli sejarah barat menamakan
periode ini sebagai Pax Islamica. Keberhasilan dunia Islam dalam membangun
perekonomian global di zaman kekhalifahan tak lepas dari teknologi perkapalan
dan navigasi yang dikuasai umat Islam. Dengan
teknologi navigasi dan perkapalan yang canggih pada zamannya, kekhalifahan
Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, dan Turki Usmani mampu
menjadi kekuatan ekonomi selama berabad-abad.
Para sarjana Muslim mulai mengembangkan
teknologi navigasi yang berguna untuk mengarungi lautan, mencapai tujuan serta
melewati dan memahami rute yang dituju pada abad ke-8 M. Berbekal teknologi
perkapalan dan navigasi pula, para penjelajah Muslim dari Andalusia dan Afrika
Utara sukses mengarungi Lautan Atlantik antara abad ke-9 M hingga 14 M. Mereka
telah mencapai benua Amerika, sebelum Christopher Columbus menemukannya pada
abad ke-15 M.
Selain itu, peradaban Islam juga menyumbangkan sejumlah peta yang
dijadikan panduan para navigator. Salah satu peta yang digunakan pelaut
Spanyol, Christopher Columbus, untuk mengarungi Samudera Atlantik adalah peta
Al-Idrisi. Penjelajah Muslim lainnya seperti Ibnu Battuta dari Maroko serta
Cheng Ho dari Cina juga telah menyumbangkan jalur perjalanan yang dijadikan
pegangan para navigator dunia selama berabad-abad. Teknologi navigasi merupakan
salah satu kunci keberhasilan peradaban Islam menggenggam dunia.
Columbus dan penjelajah Spanyol
dan Portugis lainnya, telah
diuntungkan dari pengetahuan geografis dan navigasi kaum Muslim. Karya
Al-Masudi Muruj’uz-Zahab(871-957 CE), yang didasarkan atas kompilasi dari para
pedagang Muslim dari seluruh Asia dan Afrika. Dua kapten
kapal Columbus pada pelayaran pertamanya, dalam kenyataannya, adalah Muslim:
Martin Alonso Pinzon yang bertanggung jawab atas kapal Pinta, sementara
saudaranya Vicente Yanez Pinzon adalah kapten kapal Nina; keduanya berasal dari
Dinasti Maroko Marinid, yang merupakan keturunan dari Sultan Abu Zayan Muhammad
III (r. 1362-1366).
Ekspedisi Ibnu Batuttah
Salah satu tokoh penjelajah Muslim yang
diakui dunia yaitu Ibnu Battutah karya-karyanya disimpan dunia Barat sebagai
bentuk penghormatan atas dedikasinya. ''Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa,
Marcopolo (1254 M -1324 M),'' ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi
ketangguhan pengembara Muslim itu.
Selama hampir 30 tahun, dia telah
mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan,
Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia tengah, Asia Tenggara, dan Cina.
Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia mencapai 73 ribu mil
atau sejauh 117 ribu kilometer. Perjalanannya mampu melampaui sejumlah
penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus,
Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 tahun setelah Ibnu Battuta.
Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat
jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian Marco Polo. Tak
heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu
Battuta yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu
mil itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.
Beliau bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin
Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah (1304-1368) merupakan manusia pertama yang mengadakan
perjalanan keliling dunia. Ibnu Batutah
lahir di Tangier, Maroko 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu.
Sejak kecil, Ibnu Battuta dibesarkan
dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik
untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab. Latar belakang Ibnu
Battuta begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang
dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta
adalah seorang teologis, sastrawan puisi dan cendekiawan, serta humanis, namun
ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.
Ilmu yang dipelajarinya semasa kecil
hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya.
Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi
atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin
yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.
Secara detail, setiap kali mengunjungi
sebuah negeri atau negara, Ibnu Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah,
dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika
berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris
dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim.
Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan
orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk
menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya
bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan
menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia. ''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/
14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam
Rasulullah SAW di Madinah,'' kisah Ibnu Battuta.
Meski hatinya berat untuk meninggalkan
orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap meninggalkan kampung
halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke
arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali
bergerak ke Dimyath dan Kaherah.
Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di
Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah
hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia
melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah
Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama
dua tahun.
Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu
Battuta, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih
untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke
Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali
lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf,
Bahrin dan Yamama.
Itulah putaran pertama perjalanan yang
tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putaran kedua, dilalui Ibnu Battuta dengan
menjelajahi Syam dan Laut Hitam. Ia lalu meneruskan pengembaraannya ke
Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu
Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube.
Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam
ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di
India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, nusantara,
dan Canton (Cina). Kemudian Ibnu Battuta mengembara pula ke Sumatera dan
melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya meneruskan perjalanan
darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir.
Beliau lalu kembali ke Makkah untuk
menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan
putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah
Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M. Ia mengakhiri
cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota
Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya.
Sekembali
dari perjalanannya selama puluhan tahun ke kampung halamannya, Sultan Maroko
memintanya untuk menceritakan kisah perjalanananya yang kemudian dibukukan
dengan judul Rihlah Ibnu Batutahal Musammah Tuhfah al Nuzzar fi Gharaib al Amsar wa
Ajaib al Asfar”. Buku ini amat kaya dengan penggambaran dunia dibidang
geografi, sejarah, antropologi dan juga kebudayaan dunia.
Selama berpetualang mengelilingi dunia
dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat
al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang
memiliki kelebihan yang luar biasa. Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battuta itu
antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang
disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja
Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja
Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam,
serta raja Turkistan.
Ibnu
Batutah telah menyusun laporan-laporan geografi detail mengenai penjelajahan
keliling dunia yang dilakukannya hingga pulau-pulau di kawasan nusantara, yang
tidak tercatat di bawah kekuasaan Majapahit maupun Sriwijaya. Kisah pencapaian
Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan
Prancis saat menjajah benua Afrika. Barat baru mengetahui kehebatannya setelah
tiga abad meninggalnya sang pengembara.
Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu
Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu
tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing
dan Perjalanan yang Mengagumkan, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M. Ia
meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M.
Ekspedisi Laksamana Cheng ho
Selama ini arus Islamisasi yang
masuk ke nusantara hanya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah. Munculnya teori
tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan
proses pengayaan khazanah kesejarahan kita. Fakta itu bisa ditelusuri dari
faktor Tionghoa dalam Islamisasi di Asia Tenggara. Prof Dr A Dahana
berpendapat, perkiraan bahwa Cheng Ho juga menyebarkan Islam dalam
ekspedisinya.
Pada masa kunjungan muhibah Laksamana Muslim
Cheng Ho pada periode Kaisar Ming (1409-1415) keliling dunia selama 7 kali bagi
Kekaisaran Cina dapat terlihat proses
Islamisasi di sepanjang ekspedisi pelayarannya. Laksamana
Muslim Cheng Ho (Zheng He) ini bahkan telah mendarat di Amerika. Kedatangan Cheng Ho ke Jawa, bersamaan dengan
awal proses Islamisasi. Fakta mencatat, usai persinggahannya, banyak suku
Tionghoa Muslim yang mendiami pesisir utara Jawa.
Ketika itu banyak pedagang asal Cina bermukim di kawasan
pantai utara, dan sebagian mereka beragama Islam. Kedatangan Cheng Ho sekaligus
memberikan dukungan bagi para imigran Tionghoa ini agar menjalin hubungan akrab
dengan penduduk setempat. Ada dua alasan yang mendorong Cheng Ho melakukan
akulturasi muslim Tionghoa ini yaitu pertama karena para pedagang itu sulit
kembali ke tanah Cina akibat tekanan pemerintah, dan kedua mereka yang Muslim
merasa lebih bebas menetap di Nusantara.
Cheng Ho adalah juga seorang
pemeluk Islam yang taat. Dan karenanya, pada setiap tempat yang didatangi, dia
senantiasa menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan. Menurut Prof Dr AM Juliati Suroyo sebagai
pelaksana misi kaisar, Cheng Ho kemudian menjalin hubungan di berbagai bidang
dengan penguasa di setiap wilayah yang disinggahinya, baik dari segi politik,
ekonomi maupun sosio-kultural. Ekspedisi Cheng Ho selama 32 tahun (1405-1433)
telah membawa arti penting bagi upaya membina toleransi antar sesama, dimana
Cheng Ho meramunya melewati batas perbedaan etnis, budaya, dan agama.
Di samping
itu, mengutip Sumanto al-Qurtubi, Juliati menyatakan kemungkinan besar, Cheng
Ho memiliki agenda pribadi untuk turut menyebarkan agama Islam. "Meski
begitu, diyakini dakwah yang dilakukan Cheng Ho bukan seperti dakwah yang kita
kenal selama ini, melainkan berupa penyebaran nilai-nilai moral agama
Islam," tukasnya.
Ekspedisi Pelaut Nusantara
Diakui oleh bangsa asing melalui
tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi masyarakat nusantara merupakan bangsa pelaut, bahari
dan pedagang ulung. Dari bukti-bukti sejarah diketahui bahwa sejak masa prasejarah atau
milenium pertama masyarakat Nusantara sudah mengarungi lautan luas hingga ke
pantai timur Benua Afrika. Perdagangan Nusantara pada masa itu
dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan.
Salah seorang arkeolog dari Australia
National University Peter Bellwood, dalam bukunya Reader in Archaeology telah
melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood
menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi,
beberapa jalur perdagangan utama internasional telah
berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Bellwood menyatakan bahwa sebelum tahun 221
SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para
pedagang dari Cina. Temuan
beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari masa Dinasti Han dan masa sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa
Timur membuktikan hal ini.
Sejak awal
abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Nusantara bagian barat dan Cina
berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama
Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman memakai cendana untuk membuat
tiang-tiang dalam bait Sulaiman, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman mengimpor
kayu ini dari tempat-tempat yang jauh yang kemungkinan cendana tersebut berasal
dari Nusa Tenggara Timur.
Mengenai kemampuan pelayaran rakyat nusantara, dalam Babat Tanah Jawi versi J.J. Meinnsma menggambarkan betapa kapal layar dari nusantara telah mengarungi samudra jauh
sampai ke negeri Sophala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan
Madagaskar. Penjelajajahan itu terkait dengan kemajuan bidang industri
pembuatan alat pertanian, seperti Cangkul dan sabit, serta alat persenjataan,
yakni Keris yang bahan bakunya harus di cari sampai ke Afrika Timur dengan berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di
sana.
Pada abad ke
14 Masehi, pelaut-pelaut Sulawesi sudah bisa membuat perahu yang menjelajahi
dunia. Perahu pinisi yang dibuat masyarakat Bugis pada waktu itu sudah bisa
berlayar sampai ke Madagaskar di Afrika. Suatu perjalanan mengarungi samudera
yang memerlukan tekad yang besar dan keberanian luar biasa. Ini membuktikan
bahwa suku Bugis memiliki kemampuan membuat perahu yang mengagumkan, dan
memiliki semangat bahari yang tinggi.
Tahun 1154 misalnya Al-Idrisi menyebut bahwa penduduk Zendt di Afrika Timur
telah berdagang dengan saudagar dari Zabag (Sumatera atau Jawa). Seorang pengembara Muslim dari Maghribi yang masyhur
Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M.
Ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal
Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan
bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untukmenyerahkan upeti.
Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan
keQuilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki
relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar.
Sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak pedagang Islam
di Tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik, yang saat itu sedang
dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat tinggal mereka. Bersama Tuban dan Jepara, pelabuhan Gresik sejak zaman Prabu Airlangga
(1019-1041 M) bertahta, telah terjalin hubungan dagang dengan negara-negara asing. Di pantai Tuban banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab
bertarikh abad ke 9 – 10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa
dan Timur Tengah sudah pesat.
Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa
Portugal, Tom Pires, yang menyusuri utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni
1513, mencatat dalam jurnalnya, “Mereka mulai berdagang di negeri itu dan
bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan Mullah, para ulama di
datangkan dari Luar.”
Bahkan pada
saat itu pelaut barat Vasco da Gama baru memulai penjelajahan pertamanya pada
tahun 1497 dalam upaya mencari rempah-rempah, dan menemukan benua-benua baru di
timur, yang sebelumnya dirintis Marco Polo. Pada tahun 1509 Lopo Sequira, pelaut Portugis menjumpai sebuah kapal dari Jawa di
Pulau Madagaskar. Tahun 1601 pelaut Belanda menemukan pelaut Aceh telah berdagang di Pulau Comoro
(Afrika).
Setelah
kehadiran bangsa Eropa di perairan nusantara secara lambat laun, aktivitas
bahari pelaut muslim mulai
terpinggirkan. Sejak dominasi orang Eropa di dunia bahari Nusantara, para
pelaut ini tidak lagi leluasa mengarungi lautan luas, pelayaran mereka menjadi
terbatas pada pelayaran lokal. Para nakhoda muslim ini hanya melayani pelayaran antar-pulau
atau antar-kota pantai dalam perdagangan
pulau-pulau kecil saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar