Find us on Google+ Ekologi Nusantara: OTONOMI MENGGADAIKAN TANAH KALIMANTAN

Jumat, 28 September 2012

OTONOMI MENGGADAIKAN TANAH KALIMANTAN





Kalimantan adalah sebuah contoh kasus dimana sumber-sumber kehidupan masyarakat berada diambang kehancuran akibat over-eksploitasi Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE).  Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dari pelaksana negara, membuat pembangunan berjalan tanpa ada upaya untuk mencegah perusakan lingkungan, sementara di depan mata masyarakat lokal semakin termarjinalkan haknya. 
Modal Alam (Capital natural) vs Modal Pembangunan
Kalimantan pasca meredupnya “pamor” sektor Kehutanan, dan begitu banyaknya perusahaan HPH yang kolaps dan meninggalkan utang yang harus dibayar negara (dari uang rakyat), kebijakan baru diterapkan lagi  dengan pemberian ijin pada Perkebunan Besar Swasta (PBS) Sawit. Pola dan caranya hampir sama, yakni penguasaaan lahan yang begitu besar, dan menggusur kebun-kebun, dan hutan rakyat yang menjadi satu-satunya penopang kehidupannya.  Sementara itu, dalam PBS, pola penguasaan ribuan hektar dimonopoli oleh segelintir orang, sedangkan ribuan masyarakat sekitar, hanya bisa mengolah secuil hektar lahan saja.
Kebijakan perkebunan besar (PBS) dan HPH juga diikuti oleh unit usaha lainnya, yakni bidang Pertambangan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan sekarang ini semakin “mengganas” dan merambah ke lahan-lahan tempat masyarakat berladang. Kehancuran tersebut diakibatkan oleh pengelolaan lahan dan hutan yang tidak berkelanjutan. Munculnya llegal logging, land clearing untuk perkebunan sawit ribuan hektar dan kebakaran hutan adalah dampak nyata yang bisa disaksikan secara langsung hari ini.
Hutan Borneo yang juga menjadi tempat mata pencaharian penduduk Kalimantan telah mengalami degradasi yang serius. Begitu juga berkurangnya lahan pertanian masyarakat, terutama di Kalimantan, bukan karena semakin bertambahnya penduduk, tetapi dikarenakan distribusi sumber-sumber kehidupan (tanah) yang tidak adil oleh pemerintah. Sering munculnya sengketa lahan atau penolakan masyarakat terhadap perusahaan perkebunan, dituding karena sikap pihak perkebunan yang mengabaikan adanya masyarakat yang terancam lingkungan dan mata pencahariannya.
Masyarakat yang menjadi korban konflik lingkungan menjadi contoh nyata dari salah urus pengelolaan sumberdaya alam dan energi yang penuh ketimpangan. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat sebagai sumber penghidupan yang utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan politik melekat padanya.   Sumber penghidupan dilihat dari hanya dari nilai ekonomis saja. sumberdaya hutan disempitkan menjadi kayu, sumberdaya pertanian disulap hanya untuk sawit belaka, dan Sumberdaya alam dikeruk hanya untuk batubara. 


Nilai Ekonomi vs Nilai Lingkungan
Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia selama ini, semuanya bermula dari paradigma pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi. Dengan menjadikan faktor ekonomi sebagai unsur utama, menimbulkan dampak diabaikannya faktor lingkungan dalam pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan.
Pendekatan yang terlalu berorientasi memacu pertumbuhan ekonomi, membuat pemerintah daerah memaksakan target PAD dengan menggusur sumber-sumber kehidupan alami masyarakat lokal. Potensi SDAE diperlakukan sebagai aset dan komoditi  yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok investor. Kepemilikan dan kontrol SDAE ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan. 
Investor besar ini dianggap sebagai juru selamat yang akan memberikan kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sang juru selamat akan mendapatkan berbagai fasilitas perlindungan hukum dengan berbagai kemudahan peraturan dan insentif yang akan membuat mereka betah dan terus meningkatkan investasinya di daerah.
Perkebunan Sawit ribuan hektar merupakan aspek ekonomi yang utama bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dampak ekologi yang telah berulangkali menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakat lokal. Mulai dari konflik agraria, perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, munculnya berbagai penyakit dan pemiskinan. Semua kasus ini berpangkal dari meluasnya Kapitalisme yang berkedok investasi di berbagai daerah. Sementara korban terus berjatuhan tidak ada sepeser pun biaya sosial yang dikeluarkan para investor sawit ini bagi rakyat kecil.
Di seluruh Kalimantan (yang meliputi wilayah Indonesia dan Malaysia), eskalasi konflik antara masyarakat lokal melawan para investor semakin bertambah rumit dengan sikap pemerintah yang terus mendiamkan kasus ini. Konflik dan permasalahan lingkungan yang berlangsung dianggap sebagai sebuah harga dari investasi pembangunan. Tidak pernah ada perhatian serius para pengambil kebijakan terhadap masalah ketidakadilan sosial ini.
Sebagai akibatnya muncullah berbagai kejahatan lingkungan hidup di berbagai wilayah Indonesia yang ditandai dengan terjadinya kerusakan lingkungan berupa pencemaran dan bencana alam yang terjadi secara beruntun di seluruh Negeri. Dan yang menyedihkan dari hari ke hari korban terus bertambah yang sebagian besar korbannya adalah masyarakat lokal yang tidak berdaya di depan hukum. Seperti kisah si gajah melawan semut, dimana para investor besar akan melindas masyarakat dengan mengandalkan kekuatan modal mereka yang besar  untuk membeli apa saja yang mereka inginkan.  

Semangat Pelayanan vs Semangat Bisnis
Privatisasi yang saat ini gencar dilakukan Pemerintah tidak bisa dilepaskan dari agenda kapitalisasi asing. Semua ini fakta ini jelas akibat dari adanya kebijakan ekonomi privatisasi, dimana Pemerintah melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang menguasai sektor-sektor hajat hidup orang banyak oleh pihak swasta, termasuk swasta asing, baik secara langsung maupun melalui proses privatisasi.
Keadaan ini tentunya akan menyakiti rakyat. Sebab, SDAE yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah, yang hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagai bentuk pelayanan sosial kepada mereka, berubah menjadi bernilai komersial. Rakyat yang sejatinya adalah pemilik sumberdaya itu (seperti BBM, barang tambang, air, hasil hutan, dll) harus membeli semua itu dengan harga mahal.
Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelala oleh negara dan digunakan sebesar-besar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Artinya negara berperan penting mengelola SDAE untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bung Hatta ketika memasukkan pasal ini ke dalam UUD 1945 mempunyai maksud yang jelas untuk memberikan kewenangan kepada negara untuk mengelola SDAE.
Semangat pelayanan tentu sangat berbeda sekali dengan semangat bisnis. Pelayanan adalah memberikan yang terbaik buat masyarakat seperti harga murah serta ketersediaan barang yang cukup. Sebaliknya, bisnis adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan masa bodoh dengan yang lain.
Secara pasti matinya UUD 1945 tidak dapat diingkari lagi. Apapun yang dikatakan Pemerintah, bahwa privatisasi tidak akan membebani masyarakat tetapi menyejahterakan masyarakat adalah hal yang tidak masuk akal. Dengan privatisasi, kekayaan rakyat berpindah menjadi milik swasta asing. Dari agenda investasi asing secara jelas menunjukkan bahwa privatisasi merupakan agenda asing untuk  menjajah negeri ini yang dipaksakan melalui pemerintah negara berkembang.
Semoga dengan tulisan ini yang menguraikan akar masalah krisis lingkungan yang terjadi di Kalimantan akan membuka mata hati, jika kita ingin mencari solusi yang jernih pengelolaaan SDAE dengan menjadikan amanah dan komitmen kepada pihak negara untuk kembali mengelola sumber daya alam dan energi milik rakyat secara adil dan tidak diserahkan kepada swasta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar