Kalimantan adalah sebuah contoh kasus dimana
sumber-sumber kehidupan masyarakat berada diambang kehancuran akibat
over-eksploitasi Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE). Berlakunya otonomi
daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dari pelaksana negara, membuat
pembangunan berjalan tanpa ada upaya untuk mencegah perusakan lingkungan,
sementara di depan mata masyarakat lokal semakin termarjinalkan haknya.
Kalimantan pasca meredupnya
“pamor” sektor Kehutanan, dan begitu banyaknya perusahaan HPH yang kolaps dan
meninggalkan utang yang harus dibayar negara (dari uang rakyat), kebijakan baru
diterapkan lagi dengan pemberian ijin pada
Perkebunan Besar Swasta (PBS) Sawit. Pola dan caranya hampir sama, yakni
penguasaaan lahan yang begitu besar, dan menggusur kebun-kebun, dan hutan
rakyat yang menjadi satu-satunya penopang kehidupannya. Sementara itu,
dalam PBS, pola penguasaan ribuan hektar dimonopoli oleh segelintir orang,
sedangkan ribuan masyarakat sekitar, hanya bisa mengolah secuil hektar lahan
saja.
Kebijakan perkebunan besar (PBS) dan HPH juga diikuti
oleh unit usaha lainnya, yakni bidang Pertambangan. Perusahaan-perusahaan yang
bergerak di bidang pertambangan sekarang ini semakin “mengganas” dan merambah
ke lahan-lahan tempat masyarakat berladang. Kehancuran tersebut diakibatkan
oleh pengelolaan lahan dan hutan yang tidak berkelanjutan. Munculnya llegal
logging, land clearing untuk
perkebunan sawit ribuan hektar dan kebakaran hutan adalah dampak
nyata yang bisa disaksikan secara langsung hari ini.
Hutan Borneo yang juga menjadi tempat mata pencaharian
penduduk Kalimantan telah mengalami degradasi yang serius. Begitu juga
berkurangnya lahan pertanian masyarakat, terutama di Kalimantan, bukan karena
semakin bertambahnya penduduk, tetapi dikarenakan distribusi sumber-sumber
kehidupan (tanah) yang tidak adil oleh pemerintah. Sering munculnya sengketa
lahan atau penolakan masyarakat terhadap perusahaan perkebunan, dituding karena
sikap pihak perkebunan yang mengabaikan adanya masyarakat yang terancam
lingkungan dan mata pencahariannya.
Masyarakat yang menjadi korban konflik lingkungan menjadi
contoh nyata dari salah urus pengelolaan sumberdaya alam dan energi yang penuh
ketimpangan. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat sebagai sumber
penghidupan yang utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan politik
melekat padanya. Sumber penghidupan dilihat dari hanya dari
nilai ekonomis saja. sumberdaya hutan disempitkan menjadi kayu, sumberdaya
pertanian disulap hanya untuk sawit belaka, dan Sumberdaya alam dikeruk hanya
untuk batubara.
Nilai Ekonomi vs Nilai
Lingkungan
Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia
selama ini, semuanya bermula dari paradigma pembangunan yang mementingkan
pertumbuhan ekonomi. Dengan menjadikan faktor ekonomi sebagai unsur utama,
menimbulkan dampak diabaikannya faktor lingkungan dalam pengambilan keputusan
oleh para pembuat kebijakan.
Pendekatan yang terlalu berorientasi memacu pertumbuhan
ekonomi, membuat pemerintah daerah memaksakan target PAD dengan menggusur
sumber-sumber kehidupan alami masyarakat lokal. Potensi SDAE diperlakukan
sebagai aset dan komoditi yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat
dan kepentingan kelompok investor. Kepemilikan dan kontrol SDAE ditentukan oleh
siapa yang punya akses terhadap kekuasaan.
Investor besar ini dianggap sebagai juru selamat yang
akan memberikan kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sang
juru selamat akan mendapatkan berbagai fasilitas perlindungan hukum dengan
berbagai kemudahan peraturan dan insentif yang akan membuat mereka betah dan
terus meningkatkan investasinya di daerah.
Perkebunan Sawit ribuan hektar
merupakan aspek ekonomi yang utama bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dampak
ekologi yang telah berulangkali menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakat
lokal. Mulai dari konflik agraria, perusakan lingkungan, pelanggaran HAM,
munculnya berbagai penyakit dan pemiskinan. Semua kasus ini berpangkal dari
meluasnya Kapitalisme yang berkedok investasi di berbagai daerah. Sementara
korban terus berjatuhan tidak ada sepeser pun biaya sosial yang dikeluarkan para
investor sawit ini bagi rakyat kecil.
Di seluruh Kalimantan (yang meliputi wilayah Indonesia
dan Malaysia), eskalasi konflik antara masyarakat lokal melawan para investor
semakin bertambah rumit dengan sikap pemerintah yang terus mendiamkan kasus
ini. Konflik dan permasalahan lingkungan yang berlangsung dianggap sebagai
sebuah harga dari investasi pembangunan. Tidak pernah ada perhatian serius para
pengambil kebijakan terhadap masalah ketidakadilan sosial ini.
Sebagai akibatnya muncullah berbagai kejahatan lingkungan
hidup di berbagai wilayah Indonesia yang ditandai dengan terjadinya kerusakan
lingkungan berupa pencemaran dan bencana alam yang terjadi secara beruntun di
seluruh Negeri. Dan yang menyedihkan dari hari ke hari korban terus bertambah
yang sebagian besar korbannya adalah masyarakat lokal yang tidak berdaya di
depan hukum. Seperti kisah si gajah melawan semut, dimana para investor besar
akan melindas masyarakat dengan mengandalkan kekuatan modal mereka yang
besar untuk membeli apa saja yang mereka
inginkan.
Semangat Pelayanan vs Semangat
Bisnis
Privatisasi yang saat ini gencar dilakukan Pemerintah
tidak bisa dilepaskan dari agenda kapitalisasi asing. Semua ini fakta ini jelas
akibat dari adanya kebijakan ekonomi privatisasi, dimana Pemerintah melepaskan
peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang menguasai sektor-sektor
hajat hidup orang banyak oleh pihak swasta, termasuk swasta asing, baik secara
langsung maupun melalui proses privatisasi.
Keadaan ini tentunya akan menyakiti rakyat. Sebab, SDAE
yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah, yang hasilnya diperuntukkan bagi
kesejahteraan rakyat sebagai bentuk pelayanan sosial kepada mereka, berubah
menjadi bernilai komersial. Rakyat yang sejatinya adalah pemilik sumberdaya itu
(seperti BBM, barang tambang, air, hasil hutan, dll) harus membeli semua itu
dengan harga mahal.
Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “ bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelala oleh negara dan
digunakan sebesar-besar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Artinya negara
berperan penting mengelola SDAE untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bung
Hatta ketika memasukkan pasal ini ke dalam UUD 1945 mempunyai maksud yang jelas
untuk memberikan kewenangan kepada negara untuk mengelola SDAE.
Semangat pelayanan tentu sangat berbeda sekali dengan
semangat bisnis. Pelayanan adalah memberikan yang terbaik buat masyarakat
seperti harga murah serta ketersediaan barang yang cukup. Sebaliknya, bisnis
adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan masa bodoh dengan yang lain.
Secara pasti matinya UUD 1945 tidak dapat diingkari lagi.
Apapun yang dikatakan Pemerintah, bahwa privatisasi tidak akan membebani
masyarakat tetapi menyejahterakan masyarakat adalah hal yang tidak masuk akal.
Dengan privatisasi, kekayaan rakyat berpindah menjadi milik swasta asing. Dari
agenda investasi asing secara jelas menunjukkan bahwa privatisasi merupakan
agenda asing untuk menjajah negeri ini
yang dipaksakan melalui pemerintah negara berkembang.
Semoga dengan tulisan ini yang menguraikan akar masalah
krisis lingkungan yang terjadi di Kalimantan akan membuka mata hati, jika kita
ingin mencari solusi yang jernih pengelolaaan SDAE dengan menjadikan amanah dan
komitmen kepada pihak negara untuk kembali mengelola sumber daya alam dan
energi milik rakyat secara adil dan tidak diserahkan kepada swasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar