Find us on Google+ Ekologi Nusantara: MENUNTUT INVESTOR ASING

Minggu, 16 September 2012

MENUNTUT INVESTOR ASING


Di Indonesia masih sedikit kasus kejahatan lingkungan yang terungkap yang diakibatkan oleh manipulasi investor asing terhadap aset-aset publik. Berbagai dampak kejahatan lingkungan perusahaan multinasional (MNC) dan perusahaan transnasional (TNC) semakin hari semakin membuka mata melihat dampak kejahatan lingkungan yang ditimbulkan berupa kerusakan ekosistem, dan rentetan bencana alam yang hingga sekarang harus ditanggung oleh masyarakat.

Akumulasi dampak praktek buruk perusahaan-perusahaan tambang transnasional AS di Indonesia telah menuai sentimen negatif publik. Sentimen negatif ini terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Baik dalam bentuk aksi hingga tuntutan yang mengancam keamanan mereka. Mari kita lihat beberapa kasus yang mencuat ke permukaan di antaranya adalah :
  • Kasus pengadilan kejahatan lingkungan yaitu pencemaran limbah pabrik (tailing) ke laut lepas oleh Newmont di Teluk Buyat – Sulawesi Utara. Dalam peerkembangannya akhirnya Presiden direktur PT Newmont Minahasa Raya (NMR) bebas dari dakwaan pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup di Teluk Buyat. Pengadilan yang berlangsung sekitar 20 bulan ini mulai bergulir setelah sejumlah warga di Teluk Buyat, mengatakan, mereka menderita tumor dan penyakit kulit akibat bahan kimiawi beracun yang dibuang ke perairan.Namun, hakim memutuskan, limbah dari tambang yang kini ditutup itu tidak melanggar standar keselamatan pemerintah.( BBC Indonesia, 24 April)
  • Tuntutan renegosiasi Kontrak, hingga penutupan tambang PT Freeport yang terus mengemuka oleh masyarakat pribumi Timika yang tetap dibiarkan miskin selama 40 tahun pertambangan ini berjalan.
  • Skandal Pengambilalihan blok Cepu oleh Exxon Mobil dari tangan Pertamina yang menguasai 100 % hasil minyak dan pemerintah hanya berhak mendapatkan sedikit pembayaran pajak.
  • Ancaman pemutusan Kontrak Exxon di Natuna akibat tidak mampu berproduksi hingga kontraknya habis Januari 2005 lalu.
  • Ancaman tidak kembalinya jaminan dana bank dan penjamin AS dari perusahaan tambang yang akan menambang hutan lindung Indonesia akibat melanggar UU Kehutanan No 41/1999. 
Penanaman modal asing AS di Indonesia dalam 10 tahun terakhir mencapai  USD 2,84 Milyar, di sektor-sektor ekonomi ekstraktif. Tetapi praktek-praktek buruk beroperasinya investasi AS di Industri ekstraktif telah berlangsung lebih dari 40 tahun. Mulai dari pengambilalihan aset, penghancuran lingkungan, pemiskinan hingga pelanggaran  HAM di sekitar pertambangan Freeport, Newmont, Exxon Mobil, Unocal – Chevron  dan lainnya.  (Siaran pers JATAM dan WALHI, 17 November 2006).     
    
Sawit menindas lahan masyarakat
Di Kalimantan Tengah pasca meredupnya “pamor” sektor Kehutanan, dan begitu banyaknya perusahaan HPH yang kolaps dan meninggalkan utang yang harus dibayar negara (dari uang rakyat), kebijakan baru diterapkan lagi, yakni dengan pemberian ijin kepada Perkebunan Besar Swasta (PBS) Sawit.
Pola dan caranya hampir sama, yakni penguasaaan lahan yang begitu besar, dan menggusur kebun-kebun rotan dan karet rakyat yang menjadi satu-satunya penopang kehidupannya.  Sementara itu, dalam PBS, pola penguasaan ribuan hektar dimonopoli oleh segelintir orang, sedangkan ribuan masyarakat sekitar, hanya bisa mengolah secuil hektar lahan saja.
Kebijakan perkebunan besar (PBS) dan HPH juga diikuti oleh unit usaha lainnya, yakni bidang Pertambangan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan sekarang ini semakin “mengganas” dan merambah ke lahan-lahan tempat masyarakat berladang.
Berkurangnya lahan pertanian masyarakat, terutama di Kalimantan Tengah, bukan karena semakin bertambahnya penduduk, tetapi dikarenakan distribusi sumber-sumber kehidupan (tanah) yang tidak adil oleh pemerintah. Sering munculnya sengketa lahan atau penolakan masyarakat terhadap perusahaan perkebunan, dituding karena sikap pihak perkebunan yang mengabaikan adanya tanah adat atau ulayat. Akibatnya, masyarakat Melayu dan Dayak yang kental dengan sosial budayanya menolak jika tanah peninggalan leluhur mereka terancam.
Di bawah ini ada beberapa kasus pelanggaran lahan masyarakat di kalimantan Tengah, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang tidak terekpos oleh media.
No
Perusahaan
Korban
Lokasi
Kasus
Keterangan
1.
PT. Indo Muro Kencana
(Induk Aurora Gold dari Australia).
Masyarakat adat Dayak Siang Murung dan Bekumpai
Kabupaten Barito Utara
Pemerintah dan IMK/Aurora Gold menerapkan proses pembebasan tanah secara sepihak tanah-tanah adat orang Dayak Siang-Murung dari tahun 1987-1992.
Masyarakat adat Dayak mengambil kembali (Menguasai) lubang-lubang tambang mereka yang dikuasai 10 Tahun 
(20 September, 1999)
2.
PT Kharisma Unggul Centratama Cemerlang
 (18.000 hektar)
Taman Nasional Tanjung Puting
Kabupaten Seruyan
Lokasi ketiga areal perkebunan tersebut sebagian tumpang tindih dengan Taman Nasional Tanjung Puting
Walhi Kalteng mendesak MenHut membatalkan rekomendasi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan lindung TN Tanjung Puting (18 Februari 2005)
3.
PT Graha Indosawit
Andal Tunggal
(17.000 hektar)
4.
PT Borneo Eka
 Sawit Tangguh
 (25.000 hektar)
5.
PT RAS
Masyarakat Adat Mandomai
Kabupaten Kapuas
Pembelian tanah eks PLG (proyek lahan gambut) dan lahan produktif untuk dijadikan areal perkebunan sawit.
Pemerintah telah me-ngeluarkan 5 ijin penggarapan lahan dengan dana DAK/DR
(November 2005)
6
PT. Marunda Graha Mineral (MGM)
Masyarakat Adat Desa Batu Bua II Kecamatan Laung Tuhup,
Kabupaten Murung Raya
Masyarakat kesulitan mencari lahan untuk pertanian, pasalnya semua lahan yang ada disekitar desa telah terkena dan masuk areal pertambangan milik PT. Marunda Graha Mineral (MGM)
Penyebab kesulitan lahan ini adalah banyak lahan yang di kavling untuk eksplorasi tambang
7.
PT Bhadra Cemerlang
Aliansi Masyarakat adat Dayak (AMAD)
Kabupaten Barito Timur
Aliansi Masyarakat Dayak menolak setiap setiap investasi di bidang kelapa sawit yang dinilia membuat kerusakan tanah.
PT BCL tidak meng-
indahkan rekomendasi Bupati Bartim yang meminta  mencari lahan kosong 6.183 ha. pengganti lahan sengketa.
(27 September 2006)


Biaya Sosial
Kejahatan lingkungan ini sangat nyata, padahal korban investor ini telah berulangkali menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat lokal. Ribuan konflik agraria, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan yang selama ini terjadi semuanya muncul dari keberpihakan pemerintah kepada para investor. Sementara tidak ada sepeser pun biaya sosial yang dikeluarkan para investor ini kepada rakyat kecil.
Nampaknya pengalaman konflik dan perampasan tanah rakyat di berbagai wilayah tidak menjadi rujukan bagi pemerintah dan DPR untuk membuat kebijakan. Hak-hak masyarakat sebagai petani dan penggarap utama lahan-lahan perkebunan dan pertanian akan dihapuskan.
Dari beberapa kasus yang telah terjadi secara jelas privatisasi bertentangan dengan UUD 1945. Dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa faktor produksi yang menguasai hajat orang banyak seharusnya dikuasai negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Semakin jelaslah bahwa rakyat tani di pedesaan tidak pernah menjadi prioritas dalam pembangunan. Artinya gembar-gembor pemerintah dalam REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN  serta program REFORMA AGRARIA yang dicanangkan oleh SBY-JK adalah janji belaka. Karena program tersebut harusnya diperuntukkan sebesarnya bagi rakyat miskin, petani kecil, buruh tani dan miskin kota, bukannya bagi perusahaan-perusahaan besar yang selama puluhan tahun telah menikmati dan merusak kekayaan alam kita.

Matinya UUD 1945
Privatisasi yang saat ini gencar dilakukan Pemerintah tidak bisa dilepaskan dari agenda asing untuk ‘menjajah’ Indonesia. Semua ini fakta ini jelas akibat dari adanya kebijakan ekonomi privatisasi, dimana Pemerintah melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang menguasai sektor-sektor hajat hidup orang banyak oleh pihak swasta, termasuk swasta asing, baik secara langsung maupun melalui proses privatisasi.
Keadaan ini tentunya akan menyakiti rakyat. Sebab, SDAE yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah, yang hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagai bentuk pelayanan sosial kepada mereka, berubah menjadi bernilai komersial. Rakyat yang sejatinya adalah pemilik sumberdaya itu (seperti BBM, barang tambang, air, hasil hutan, dll) harus membeli semua itu dengan harga mahal.
Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelala oleh negara dan digunakan sebesar-besar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Artinya negara berperan penting mengelola SDAE untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bung Hatta ketika memasukkan pasal ini ke dalam UUD 1945 mempunyai maksud yang jelas untuk memberikan kewenangan kepada negara untuk mengelola SDAE.
Semangat pelayanan tentu sangat berbeda sekali dengan semangat bisnis. Pelayanan adalah memberikan yang terbaik buat masyarakat seperti harga murah serta ketersediaan barang yang cukup. Sebaliknya, bisnis adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan masa bodoh dengan yang lain.

Secara pasti matinya UUD 1945 tidak dapat diingkari lagi. Apapun yang dikatakan Pemerintah, bahwa privatisasi tidak akan membebani masyarakat tetapi menyejahterakan masyarakat adalah hal yang tidak masuk akal. Dengan privatisasi, kekayaan rakyat berpindah menjadi milik swasta asing. Dari agenda investasi asing secara jelas menunjukkan bahwa privatisasi merupakan agenda asing untuk  menjajah negeri ini yang dipaksakan melalui pemerintah negara berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar