Di Indonesia
masih sedikit kasus kejahatan lingkungan yang terungkap yang diakibatkan oleh manipulasi
investor asing terhadap aset-aset publik. Berbagai dampak kejahatan lingkungan
perusahaan multinasional (MNC) dan perusahaan transnasional (TNC) semakin hari
semakin membuka mata melihat dampak kejahatan lingkungan yang ditimbulkan berupa
kerusakan ekosistem, dan rentetan bencana alam yang hingga sekarang harus ditanggung
oleh masyarakat.
Akumulasi dampak praktek buruk
perusahaan-perusahaan tambang transnasional AS di Indonesia telah menuai
sentimen negatif publik. Sentimen negatif ini terus meningkat dalam sepuluh tahun
terakhir. Baik dalam bentuk aksi hingga tuntutan yang mengancam keamanan
mereka. Mari kita lihat beberapa kasus yang mencuat ke permukaan di antaranya
adalah :
- Kasus pengadilan kejahatan lingkungan yaitu pencemaran limbah
pabrik (tailing) ke laut lepas oleh Newmont di Teluk Buyat – Sulawesi
Utara. Dalam peerkembangannya akhirnya Presiden direktur PT Newmont Minahasa Raya (NMR) bebas dari dakwaan
pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup di Teluk Buyat. Pengadilan
yang berlangsung sekitar 20 bulan ini mulai bergulir setelah sejumlah
warga di Teluk Buyat, mengatakan, mereka menderita tumor dan penyakit
kulit akibat bahan kimiawi beracun yang dibuang ke perairan.Namun, hakim
memutuskan, limbah dari tambang yang kini ditutup itu tidak melanggar
standar keselamatan pemerintah.( BBC Indonesia, 24 April)
- Tuntutan renegosiasi Kontrak, hingga penutupan tambang PT Freeport
yang terus mengemuka oleh masyarakat pribumi Timika yang tetap dibiarkan
miskin selama 40 tahun pertambangan ini berjalan.
- Skandal Pengambilalihan blok Cepu oleh Exxon Mobil dari tangan
Pertamina yang menguasai 100 % hasil minyak dan pemerintah hanya berhak
mendapatkan sedikit pembayaran pajak.
- Ancaman pemutusan Kontrak Exxon di Natuna akibat tidak mampu
berproduksi hingga kontraknya habis Januari 2005 lalu.
- Ancaman tidak kembalinya jaminan dana bank dan penjamin AS dari
perusahaan tambang yang akan menambang hutan lindung Indonesia akibat
melanggar UU Kehutanan No 41/1999.
Penanaman modal asing AS di Indonesia dalam 10
tahun terakhir mencapai USD 2,84 Milyar,
di sektor-sektor ekonomi ekstraktif. Tetapi praktek-praktek buruk beroperasinya
investasi AS di Industri ekstraktif telah berlangsung lebih dari 40 tahun.
Mulai dari pengambilalihan aset, penghancuran lingkungan, pemiskinan hingga
pelanggaran HAM di sekitar pertambangan
Freeport, Newmont, Exxon Mobil, Unocal – Chevron dan lainnya.
(Siaran pers JATAM dan WALHI, 17 November 2006).
Sawit menindas lahan masyarakat
Di
Kalimantan Tengah pasca meredupnya “pamor” sektor Kehutanan, dan begitu
banyaknya perusahaan HPH yang kolaps dan meninggalkan utang yang harus dibayar
negara (dari uang rakyat), kebijakan baru diterapkan lagi, yakni dengan
pemberian ijin kepada Perkebunan Besar Swasta (PBS) Sawit.
Pola dan
caranya hampir sama, yakni penguasaaan lahan yang begitu besar, dan menggusur
kebun-kebun rotan dan karet rakyat yang menjadi satu-satunya penopang
kehidupannya. Sementara itu, dalam PBS, pola penguasaan ribuan hektar
dimonopoli oleh segelintir orang, sedangkan ribuan masyarakat sekitar, hanya
bisa mengolah secuil hektar lahan saja.
Kebijakan
perkebunan besar (PBS) dan HPH juga diikuti oleh unit usaha lainnya, yakni
bidang Pertambangan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan
sekarang ini semakin “mengganas” dan merambah ke lahan-lahan tempat masyarakat
berladang.
Berkurangnya
lahan pertanian masyarakat, terutama di Kalimantan Tengah, bukan karena semakin
bertambahnya penduduk, tetapi dikarenakan distribusi sumber-sumber kehidupan
(tanah) yang tidak adil oleh pemerintah. Sering munculnya sengketa lahan atau
penolakan masyarakat terhadap perusahaan perkebunan, dituding karena sikap
pihak perkebunan yang mengabaikan adanya tanah adat atau ulayat. Akibatnya,
masyarakat Melayu dan Dayak yang kental dengan sosial budayanya menolak jika
tanah peninggalan leluhur mereka terancam.
Di bawah
ini ada beberapa kasus pelanggaran lahan masyarakat di kalimantan Tengah, dan
masih banyak lagi kasus-kasus yang tidak terekpos oleh media.
No
|
Perusahaan
|
Korban
|
Lokasi
|
Kasus
|
Keterangan
|
1.
|
PT. Indo Muro Kencana
(Induk Aurora Gold dari
Australia).
|
Masyarakat adat Dayak Siang
Murung dan Bekumpai
|
Kabupaten Barito Utara
|
Pemerintah dan IMK/Aurora Gold menerapkan
proses pembebasan tanah secara sepihak tanah-tanah adat orang Dayak
Siang-Murung dari tahun 1987-1992.
|
Masyarakat adat Dayak mengambil kembali (Menguasai) lubang-lubang tambang mereka yang dikuasai 10 Tahun
(20 September, 1999)
|
2.
|
PT Kharisma Unggul
Centratama Cemerlang
(18.000 hektar)
|
Taman
Nasional Tanjung Puting
|
Kabupaten
Seruyan
|
Lokasi ketiga areal perkebunan tersebut
sebagian tumpang tindih dengan Taman Nasional Tanjung Puting
|
Walhi Kalteng mendesak MenHut membatalkan
rekomendasi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dalam
kawasan hutan lindung TN Tanjung Puting (18 Februari 2005)
|
3.
|
PT Graha Indosawit
Andal Tunggal
(17.000 hektar)
|
||||
4.
|
PT Borneo Eka
Sawit Tangguh
(25.000 hektar)
|
||||
5.
|
PT RAS
|
Masyarakat
Adat Mandomai
|
Kabupaten Kapuas
|
Pembelian tanah eks PLG (proyek lahan
gambut) dan lahan produktif untuk dijadikan areal perkebunan sawit.
|
Pemerintah telah me-ngeluarkan 5 ijin
penggarapan lahan dengan dana DAK/DR
(November 2005)
|
6
|
PT. Marunda Graha Mineral
(MGM)
|
Masyarakat
Adat Desa
Batu Bua II Kecamatan Laung Tuhup,
|
Kabupaten Murung Raya
|
Masyarakat kesulitan mencari lahan untuk
pertanian, pasalnya semua lahan yang ada disekitar desa telah terkena dan
masuk areal pertambangan milik PT. Marunda Graha Mineral (MGM)
|
Penyebab kesulitan lahan ini adalah banyak
lahan yang di kavling untuk eksplorasi tambang
|
7.
|
PT Bhadra Cemerlang
|
Aliansi Masyarakat adat
Dayak (AMAD)
|
Kabupaten Barito
Timur
|
Aliansi Masyarakat Dayak menolak setiap
setiap investasi di bidang kelapa sawit yang dinilia membuat kerusakan tanah.
|
PT BCL tidak meng-
indahkan rekomendasi Bupati Bartim yang
meminta mencari lahan kosong 6.183 ha.
pengganti lahan sengketa.
(27 September 2006)
|
Biaya Sosial
Kejahatan
lingkungan ini sangat nyata, padahal korban investor ini telah berulangkali menimbulkan
kerusakan dan kerugian bagi masyarakat lokal. Ribuan konflik agraria,
pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan yang selama ini terjadi
semuanya muncul dari keberpihakan pemerintah kepada para investor. Sementara
tidak ada sepeser pun biaya sosial yang dikeluarkan para investor ini kepada
rakyat kecil.
Nampaknya
pengalaman konflik dan perampasan tanah rakyat di berbagai wilayah tidak
menjadi rujukan bagi pemerintah dan DPR untuk membuat kebijakan. Hak-hak
masyarakat sebagai petani dan penggarap utama lahan-lahan perkebunan dan
pertanian akan dihapuskan.
Dari beberapa
kasus yang telah terjadi secara jelas privatisasi bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa faktor produksi yang menguasai hajat orang
banyak seharusnya dikuasai negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Semakin jelaslah
bahwa rakyat tani di pedesaan tidak pernah menjadi prioritas dalam pembangunan.
Artinya gembar-gembor pemerintah dalam REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN DAN
KEHUTANAN serta program REFORMA AGRARIA yang dicanangkan oleh
SBY-JK adalah janji belaka. Karena program tersebut harusnya diperuntukkan
sebesarnya bagi rakyat miskin, petani kecil, buruh tani dan miskin kota,
bukannya bagi perusahaan-perusahaan besar yang selama puluhan tahun telah
menikmati dan merusak kekayaan alam kita.
Matinya UUD 1945
Privatisasi yang saat ini gencar dilakukan
Pemerintah tidak bisa dilepaskan dari agenda asing untuk ‘menjajah’ Indonesia.
Semua ini fakta ini jelas akibat dari adanya kebijakan ekonomi privatisasi,
dimana Pemerintah melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang
menguasai sektor-sektor hajat hidup orang banyak oleh pihak swasta, termasuk
swasta asing, baik secara langsung maupun melalui proses privatisasi.
Keadaan ini tentunya akan menyakiti rakyat.
Sebab, SDAE yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah, yang hasilnya
diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagai bentuk pelayanan sosial kepada
mereka, berubah menjadi bernilai komersial. Rakyat yang sejatinya adalah
pemilik sumberdaya itu (seperti BBM, barang tambang, air, hasil hutan, dll)
harus membeli semua itu dengan harga mahal.
Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi,
“ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelala oleh
negara dan digunakan sebesar-besar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Artinya negara berperan penting mengelola SDAE untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Bung Hatta ketika memasukkan pasal ini ke dalam UUD 1945
mempunyai maksud yang jelas untuk memberikan kewenangan kepada negara untuk
mengelola SDAE.
Semangat pelayanan tentu sangat berbeda
sekali dengan semangat bisnis. Pelayanan adalah memberikan yang terbaik buat
masyarakat seperti harga murah serta ketersediaan barang yang cukup.
Sebaliknya, bisnis adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan masa bodoh
dengan yang lain.
Secara pasti matinya UUD 1945 tidak dapat diingkari lagi. Apapun yang
dikatakan Pemerintah, bahwa privatisasi tidak akan membebani masyarakat tetapi
menyejahterakan masyarakat adalah hal yang tidak masuk akal. Dengan
privatisasi, kekayaan rakyat berpindah menjadi milik swasta asing. Dari agenda
investasi asing secara jelas menunjukkan bahwa privatisasi merupakan agenda
asing untuk menjajah negeri ini yang
dipaksakan melalui pemerintah negara berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar