Pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang
berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini
harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based
management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya
(sustainable resources principle). Prinsip ini di antaranya dikemukakan
oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî
al-Islâm, berdasarkan hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin
Hanbal.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Abyadh
diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah
tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan
oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan
kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air
mengalir.”
Rasulullah saw. kemudian bersabda,
"Tariklah kembali tambang tersebut darinya." (HR at-Tirmidzi).
Dalam hadis di atas, air mengalir (mâ’
al-‘iddu), disebut demikian karena jumlahnya yang sangat banyak;
seolah-olah seperti air yang mengalir terus-menerus. Dari riwayat tersebut
dapat dipahami, bahwa semula Rasullah saw. memberi Abyadh tambang garam karena
dikira sedikit jumlahnya. Ini menunjukkan bahwa penguasa boleh memberikan
tambang garam atau tambang-tambang lainnya dalam jumlah sedikit kepada
individu.
Akan tetapi, ketika kemudian Rasul saw.
mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar
(digambarkan bagaikan air yang terus mengalir), maka Rasul saw. segera menarik
kembali pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang
tersebut dikategorikan milik umum; semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh
individu.
Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu
saja bukan garam, melainkan 'tambang'-nya. Artinya, larangan untuk menguasai
tambang dalam jumlah yang banyak tidak hanya berlaku pada tambang garam, tetapi
berlaku pada semua tambang yang memang menguasai hajat hidup orang banyak.
An-Nabhani, mengutip ungkapan Abu Ubaid, mengatakan:
Pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hanbal
atas tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya
kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya semata-mata karena menurut beliau
tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia
mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air
yang mengalir—sementara air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis,
seperti mata air dan air bor—maka beliau mencabutnya kembali. Sebab, sunnah
Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua
manusia berserikat dalam masalah tersebut. Karena itu, beliau melarang
seseorang untuk memilikinya, karena dapat menyebabkan yang lain tidak dapat
memilikinya.
Penarikan kembali pemberian Rasul saw. kepada
Abyadh adalah 'illat/sabab at-tasyrî‘ (sebab legal) bagi
larangan/keharaman atas individu/swasta manapun untuk memiliki dan menguasai
sesuatu yang menjadi milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang
kandungannya sangat banyak atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Dalam pandangan Islam, air, hutan, barang
tambang, dan sumberdaya alam lain yang menguasai hajat hidup orang banyak
adalah milik umum. Kepemilikan umum ini harus dikelola hanya oleh negara, dan
hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau
subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas
umum.
Ketika
Islam tidak diterapkan dan urusan kita tidak lagi berada di tangan orang-orang
yang amanah lagi takut kepada Allah SWT, banyak kepentingan vital kita diabaikan.
Sungguh Allah swt. melarang kita untuk membiarkan kezaliman ini dan melarang
kita menyetujui serta mendukung tindakan orang-orang zalim itu.
Allah
swt. berfirman:
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang
yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu
tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak
akan diberi pertolongan." (QS. Hûd [11]: 113)
Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan
sumberdaya itu. Sudah saatnya,
pengelolaan sumberdaya alam dan energi diatur dengan undang-undang dan
peraturan yang bersumber dari syariat Allah, Zat Yang Maha Tahu atas segala
sesuatu, yang pasti jauh lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia.
Allah SWT
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberikan
kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).
Kita
adalah umat terbaik yang diturunkan Allah SWT bagi manusia. Belum cukupkah
fakta-fakta yang kita lihat menyadarkan kita bahwa hanya dengan syariat
Islamlah kita akan mendapatkan keadilan dan hak-haknya ? Benar, sudah saatnya kita menyatakan dengan
terang “ Hanya syariat Islam yang akan menyerahkan hak rakyat dengan
tanggung jawab sepenuhnya di pundak pemimpin yang amanah.”
Kepemilikan
individu, umum, dan negara
Dalam
sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber
pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal.
Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta
yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya ditentukan
oleh syariat Islam. Pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal adalah:
1. Sektor kepemilikan individu.
Pemasukan
dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infak, dan sedekah. Untuk
zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur
dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala
negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk
delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran surah at-Taubah
ayat 60.
2. Sektor kepemilikan umum.
Sektor
ini mencakup segala milik umum seperti hasil tambang, minyak, gas, listrik,
hasil hutan, dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
a) Biaya
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam; mulai dari biaya tenaga kerja,
pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, hingga segala hal yang
berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
(b)
Dibagikan secara langsung kepada masyarakat yang memang merupakan pemilik
sumberdaya alam. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang
diperlukan seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk
uang hasil penjualan.
3. Sektor
kepemilikan negara.
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini
meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10 persen dari
tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang
murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah demi kepentingan
negara dan kemashlahatan umat.
Kepemilikan Umum
dan Pengelolaannya
Menurut
An-Nabhaniy dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishadiy Fiil Islam, Kepemilikan
Umum adalah izin as-Syari' (Allah SWT) kepada suatu komunitas untuk
sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam
kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh as-Syari'
bahwa benda-benda tersebut adalah untuk suatu komunitas, dimana mereka
masing-masing saling membutuhkan, dan melarang benda tersebut dikuasai hanya
oleh seseorang atau sekelompok kecil orang.
Dari pengertian di
atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok:
Pertama, Fasilitas Umum. Yang dimaksud dengan
kebutuhan umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara
umum, dimana apabila ketiadaan barang tersebut dalam suatu negeri atau dalam
suatu komunitas, akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan
dalam mencarinya. Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum
tersebut dalam sebuah hadits. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda :
“Manusia
berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Daud)
Anas r.a. juga
meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan: wa
tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk
diperjualbelikan.
Kedua, Bahan tambang yang
tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang dapat diklasifikasikan
menjadi dua. Yakni, bahan tambang yang jumlahnya terbatas (sedikit) dan bahan
tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang yang
jumlahnya sedikit dapat dimiliki secara pribadi. Hasil tambang seperti ini akan
dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5
bagian (20%) darinya. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar terkategorikan
sebagai milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Ketiga, Benda-benda yang
sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki secara perorangan. Benda-benda
yang sifat pembentukannya mencegah individu untuk memilikinya, maka benda
tersebut adalah benda yang termasuk kemanfaatan umum. Seperti: jalan, sungai,
laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Yang juga bisa
disetarakan dengan hal-hal tadi adalah: masjid, sekolah milik negara, rumah
sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Kota Mina adalah
tempat parkir unta bagi orang yang lebih dulu (datang). (Maksudnya tempat untuk
umum).”
Barang-barang
tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan
lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum,
sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan syara' sebagai kepemilikan umum.
Negara mengatur
produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan
kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
Pertama; Pemanfaatan Secara Langsung Oleh Masyarakat Umum.
Air, padang
rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah benda-benda yang
bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat
mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian,
juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.
Bagi setiap
individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan yang dimilikinya
untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami tanaman dan pepohonan.
Karena sungai yang besar cukup luas untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat
dengan menggunakan peralatan khusus selama tidak membuat kemudharatan bagi
individu lainnya.
Sebagaimana setiap
individu diperbolehkan memanfaatkan jalan-jalan umum secara individu, dengan
tunggangan, kendaraan. Juga diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta
danau-danau umum dengan perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut
tidak membuat pihak lain yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak
mempersempit keluasan jalan umum, laut, sungai, dan danau.
Kedua; Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara
Kekayaan milik
umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap
individu masyarakat — karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta
biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya,
maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut.
Dimana hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah
pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya
sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola
kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat — untuk
konsumsi rumah tangga — dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata.
Namun diperbolehkan menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya
jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Sedangkan jika kepemilikan umum
tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari
keuntungan.
Dari hasil
keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum itu kemudian didistribusikan
dengan cara sebagai berikut:
Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan
dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta
pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi,
eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Pengambilan hasil dan
pendapatan harta pemilikan umum untuk keperluan ini, seperti pengembalian
bagian zakat untuk keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (lihat QS.
At Taubah: 60).
Kedua, dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh
rakyat. Dalam hal ini khalifah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak
tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara
gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang
tidak memberatkan. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya
minyak mentah, dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan
pemasaran dalam negeri—dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau
untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan
umum lainnya. Juga untuk menutupi tanggungan Baitul Mal yang wajib dipenuhi
lainnya, seperti anggaran belanja untuk jihad fi sabilillah.
Dengan
memahami ketentuan syariat Islam atas status sumber daya alam dan bagaimana
sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni:
(1)
didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk
mencukupi berbagai kebutuhan negara;
(2)
diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri
bagi pembiayaan pembangunan negara.
Peran
Negara
Menurut
Syariat Islam pemerintah adalah pemimpin (imam) yang diibaratkan sebagai
penggembala yang akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.
Rasulullah saw. menegaskan:
“Seorang
imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan diminta
pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebagai
pemelihara dan pengatur, ia seharusnya bertindak selaku penggembala yang harus
selalu memelihara kepentingan dan kemashlahatan rakyatnya. Segala rencana,
kebijakan, dan tindakan yang akan dibuat dalam menjalankan pemerintahan,
semata-mata adalah untuk kesejahteraan rakyatnya. Dia juga akan selalu berupaya
melindungi rakyatnya dari segala hal yang dapat mencelakakan serta yang membuat
kondisi rakyat yang dipimpinnya menjadi sulit dan sengsara. Rasulullah saw
bersabda:
“Seorang
pemimpin adalah ibarat perisai (pelindung), dimana rakyat berperang bersamanya
dan berlindung dibelakangnya.”
Sebagai
perisai, seorang pemimpin haruslah mampu melindungi rakyatnya dari serangan,
tekanan, dan gangguan pihak asing yang ingin menyengsarakan rakyatnya. Sebagai
pemimpin ia juga tidak boleh berbuat curang serta menipu rakyat yang
dipimpinnya. Jika ini dia lakukan maka ia tidak akan pernah mencium baunya
surga sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Siapa saja yang menjadi pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin,
kemudian ia meninggal sedang ia berbuat curang terhadap mereka maka Allah
mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar