Find us on Google+ Ekologi Nusantara: PENGELOLAAN ALAM OLEH NEGARA

Minggu, 16 September 2012

PENGELOLAAN ALAM OLEH NEGARA

Sungguh, Allah Pencipta kita telah memberikan sumber daya alamnya untuk semua manusia. Pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam dan energi Kalimantan yang sesungguhnya sangat melimpah. Oleh sebab itu, janganlah pemerintah membiarkan hak-hak masyarakat yang menjadi bagian dari kepemilikan umum dijual ataupun digadaikan kepada para investor asing tersebut. Strategi apa pun tidak akan dapat berjalan jika para penguasa tetap berada dalam kontrol undang-undang dan peraturan yang bersumber dari sistem kapitalisme-sekular seperti sekarang ini.

Pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Prinsip ini di antaranya dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, berdasarkan hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hanbal.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.”
Rasulullah saw. kemudian bersabda, "Tariklah kembali tambang tersebut darinya." (HR at-Tirmidzi).
Dalam hadis di atas, air mengalir (mâ’ al-‘iddu), disebut demikian karena jumlahnya yang sangat banyak; seolah-olah seperti air yang mengalir terus-menerus. Dari riwayat tersebut dapat dipahami, bahwa semula Rasullah saw. memberi Abyadh tambang garam karena dikira sedikit jumlahnya. Ini menunjukkan bahwa penguasa boleh memberikan tambang garam atau tambang-tambang lainnya dalam jumlah sedikit kepada individu.
Akan tetapi, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar (digambarkan bagaikan air yang terus mengalir), maka Rasul saw. segera menarik kembali pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum; semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan garam, melainkan 'tambang'-nya. Artinya, larangan untuk menguasai tambang dalam jumlah yang banyak tidak hanya berlaku pada tambang garam, tetapi berlaku pada semua tambang yang memang menguasai hajat hidup orang banyak. An-Nabhani, mengutip ungkapan Abu Ubaid, mengatakan:
Pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hanbal atas tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya semata-mata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air yang mengalir—sementara air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor—maka beliau mencabutnya kembali. Sebab, sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Karena itu, beliau melarang seseorang untuk memilikinya, karena dapat menyebabkan yang lain tidak dapat memilikinya.
Penarikan kembali pemberian Rasul saw. kepada Abyadh adalah 'illat/sabab at-tasyrî‘ (sebab legal) bagi larangan/keharaman atas individu/swasta manapun untuk memiliki dan menguasai sesuatu yang menjadi milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Dalam pandangan Islam, air, hutan, barang tambang, dan sumberdaya alam lain yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum. Kepemilikan umum ini harus dikelola hanya oleh negara, dan hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Ketika Islam tidak diterapkan dan urusan kita tidak lagi berada di tangan orang-orang yang amanah lagi takut kepada Allah SWT, banyak kepentingan vital kita diabaikan. Sungguh Allah swt. melarang kita untuk membiarkan kezaliman ini dan melarang kita menyetujui serta mendukung tindakan orang-orang zalim itu.
Allah swt. berfirman:
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hûd [11]: 113)
Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumberdaya itu.  Sudah saatnya, pengelolaan sumberdaya alam dan energi diatur dengan undang-undang dan peraturan yang bersumber dari syariat Allah, Zat Yang Maha Tahu atas segala sesuatu, yang pasti jauh lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia.
Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).
Kita adalah umat terbaik yang diturunkan Allah SWT bagi manusia. Belum cukupkah fakta-fakta yang kita lihat menyadarkan kita bahwa hanya dengan syariat Islamlah kita akan mendapatkan keadilan dan hak-haknya ?  Benar, sudah saatnya kita menyatakan dengan terang “ Hanya syariat Islam yang akan menyerahkan hak rakyat dengan tanggung jawab sepenuhnya di pundak pemimpin yang amanah.”

Kepemilikan individu, umum, dan negara
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya ditentukan oleh syariat Islam. Pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal adalah:
1. Sektor kepemilikan individu.
Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infak, dan sedekah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran surah at-Taubah ayat 60.
2. Sektor kepemilikan umum.
Sektor ini mencakup segala milik umum seperti hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
a) Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam; mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, hingga segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
(b) Dibagikan secara langsung kepada masyarakat yang memang merupakan pemilik sumberdaya alam. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
3. Sektor kepemilikan negara.
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10 persen dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah demi kepentingan negara dan kemashlahatan umat.

Kepemilikan Umum dan Pengelolaannya
Menurut An-Nabhaniy dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishadiy Fiil Islam, Kepemilikan Umum adalah izin as-Syari' (Allah SWT) kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh as-Syari' bahwa benda-benda tersebut adalah untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang.
Dari pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
Pertama, Fasilitas Umum. Yang dimaksud dengan kebutuhan umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, dimana apabila ketiadaan barang tersebut dalam suatu negeri atau dalam suatu komunitas, akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya. Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadits. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda :
“Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Daud)
Anas r.a. juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
Kedua, Bahan tambang yang tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua. Yakni, bahan tambang yang jumlahnya terbatas (sedikit) dan bahan tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang yang jumlahnya sedikit dapat dimiliki secara pribadi. Hasil tambang seperti ini akan dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5 bagian (20%) darinya. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar terkategorikan sebagai milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Ketiga, Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki secara perorangan. Benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah individu untuk memilikinya, maka benda tersebut adalah benda yang termasuk kemanfaatan umum. Seperti: jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah: masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Kota Mina adalah tempat parkir unta bagi orang yang lebih dulu (datang). (Maksudnya tempat untuk umum).”
Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan syara' sebagai kepemilikan umum.
Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
Pertama; Pemanfaatan Secara Langsung Oleh Masyarakat Umum.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.
Bagi setiap individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan yang dimilikinya untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami tanaman dan pepohonan. Karena sungai yang besar cukup luas untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat dengan menggunakan peralatan khusus selama tidak membuat kemudharatan bagi individu lainnya.
Sebagaimana setiap individu diperbolehkan memanfaatkan jalan-jalan umum secara individu, dengan tunggangan, kendaraan. Juga diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta danau-danau umum dengan perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut tidak membuat pihak lain yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak mempersempit keluasan jalan umum, laut, sungai, dan danau.
Kedua; Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara
Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat — karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Dimana hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat — untuk konsumsi rumah tangga — dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Namun diperbolehkan menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Sedangkan jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari keuntungan.
Dari hasil keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum itu kemudian didistribusikan dengan cara sebagai berikut:
Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Pengambilan hasil dan pendapatan harta pemilikan umum untuk keperluan ini, seperti pengembalian bagian zakat untuk keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (lihat QS. At Taubah: 60).
Kedua, dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hal ini khalifah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya minyak mentah, dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya. Juga untuk menutupi tanggungan Baitul Mal yang wajib dipenuhi lainnya, seperti anggaran belanja untuk jihad fi sabilillah.
Dengan memahami ketentuan syariat Islam atas status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni:
(1) didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara;
(2) diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Peran Negara
Menurut Syariat Islam pemerintah adalah pemimpin (imam) yang diibaratkan sebagai penggembala yang akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Rasulullah saw. menegaskan:
“Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebagai pemelihara dan pengatur, ia seharusnya bertindak selaku penggembala yang harus selalu memelihara kepentingan dan kemashlahatan rakyatnya. Segala rencana, kebijakan, dan tindakan yang akan dibuat dalam menjalankan pemerintahan, semata-mata adalah untuk kesejahteraan rakyatnya. Dia juga akan selalu berupaya melindungi rakyatnya dari segala hal yang dapat mencelakakan serta yang membuat kondisi rakyat yang dipimpinnya menjadi sulit dan sengsara. Rasulullah saw bersabda:
“Seorang pemimpin adalah ibarat perisai (pelindung), dimana rakyat berperang bersamanya dan berlindung dibelakangnya.”
Sebagai perisai, seorang pemimpin haruslah mampu melindungi rakyatnya dari serangan, tekanan, dan gangguan pihak asing yang ingin menyengsarakan rakyatnya. Sebagai pemimpin ia juga tidak boleh berbuat curang serta menipu rakyat yang dipimpinnya. Jika ini dia lakukan maka ia tidak akan pernah mencium baunya surga sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Siapa saja yang menjadi pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian ia meninggal sedang ia berbuat curang terhadap mereka maka Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar