Find us on Google+ Ekologi Nusantara: Serangan Hewan Di Kalimantan

Jumat, 28 September 2012

Serangan Hewan Di Kalimantan


Marilah kita melihat rangkaian bencana yang sedang terjadi dan akan menimpa Kalimantan yang berdasarkan hasil kajian kami sejak 2004 -2009.


Serangan Belalang Kembara

Beberapa waktu yang lalu tepatnya pada tahun 2005, lahan pertanian masyarakat di sebagian wilayah Kalteng hancur diserang hama belalang Kembara. Anehnya, hampir semua  lokasi yang menjadi serangan belalang Kembara tersebut berada di wilayah pertanian di sekitar areal sawit dari Sampit, Kotawaringin, Pangkalan Bun, Kumai, Sukamara, dan Manismata. Hampir sepertiga wilayah yang terserang hama ini adalah lahan perkebunan kelapa sawit skala besar.
Muncul kecurigaan masyarakat bahwa hama belalang tersebut jadi “mengganas” justru diakibatkan oleh adanya perkebunan sawit tersebut. Argumen yang disampaikan oleh masyarakat sederhana saja, menurut mereka sebelum masuknya perkebunan sawit di sana,  hama belalang Kembara boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Lalu mengapa sekarang belalang ini begitu mengganas ? Dalam beberapa jam saja tanaman padi mereka yang hampir siap panen pun musnah dihantam belalang Kembara.
Serangan ini telah terjadi 2 kali dengan siklus lima tahun yaitu serangan pertama pada September 2000 dan pada 2005. Hama ini merupakan salah satu faktor penghambat dalam program peningkatan produksi tanaman. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kotawaringin Barat Ir. Khairil Anwar hama belalang kembara dan tikus merupakan musuh masyarakat petani dan peladang di daerah ini (Palangka Post, 11/7/2006).
Ada dugaan belalang Kembara menyukai hamparan terbuka yang luas, dan hamparan besar ini menjadi “rumah” mewah bagi Belalang Kembara. Pembukaan perkebunan sawit membutuhkan lahan yang besar, dan rata-rata dalam satu hamparan bisa sampai ribuan hektar. Dari hasil pengamatan lapang Dinas Pertanian Kotawaringin Barat menemukan bahwa masih ada spot-spot hama belalang kembara yang sewaktu-waktu dapat berkembang (Palangka Post, 11/7/2006).
Meskipun belum ada riset khusus yang membuktikan dampak ekologis pembukaan perkebunan sawit dalam skala besar yang “mengundang” kehadiran hama belalang Kembara. Namun bila dipelajari perilaku Belalang ini mempunyai sifat yang cenderung membentuk kelompok yang besar dan suka berpindah-pindah (berimigrasi). Dalam waktu yang singkat kelompok ini dapat menyebar pada areal yang luas. Kelompok yang berimigrasi dapat memakan tumbuhan yang dilewatinya selama dalam perjalanan.
Perilaku makan belalang kembara dewasa biasanya diwaktu hinggap pada sore hari sampai malam dan pada pagi hari sebelum terbang. Kelompok Nimfa yang berimigrasi dapat memakan tumbuhan yang dilokasi selama dalam perjalanan. Dalam serangan pada lahan pertanian di sekitar areal sawit dilaporkan hama belalang Kembara menyerang jenis-jenis tanaman dari Famili Graminae seperti padi, jagung, tebu, dan ilalang. Dan terkadang belalang juga menyerang daun-daun kelapa dan tanaman dari golongan Palma lainnya.
Selama ini Belalang Kembara diketahui merupakan hama penting di Indonesia dan pernah terjadi ledakan Populasi hama tersebut. Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan olah hama belalang kembara sangat bervariasi diikuti dengan peningkatan populasi yang tinggi.Terdapat sejumlah wilayah yang pernah diserangnya seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.

Wabah Tikus, dan Ular Kobra
Hilangnya ekosistem alami menjadi perkebunan monokultur mendorong perubahan ekosistem. Hal ini  berdampak pada banyak tumbuhan alami lainnya yang musnah, dan ujungnya juga akan berpengaruh terhadap perubahan rantai makanan (flora-fauna). Ekosistem baru yang monokultur ini miskin hara dan bersifat rentan terhadap serangan hama. Lingkungan baru ini akhirnya mendorong perkembangan jenis-jenis hewan-hewan tertentu yang kerap menjadi hama pertanian. Ekosistem ini sebaliknya mendukung bagi perkembangbiakan tikus tanah, belalang kembara, dan kodok yang mendominasi kawasan tersebut.
Kasus serangan hama tikus terjadi sejak 5 tahun terakhir dan menyerang banyak persawahan, perladangan, dan pemukiman penduduk di pedesaan dan perkotaan yang berbatasan langsung dengan perkebunan. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kotawaringin Barat Ir. Khairil Anwar hama belalang kembara dan tikus merupakan musuh masyarakat petani dan peladang di daerah ini (Palangka Post,  11/7/2006).
Ledakan populasi tikus ini dipicu oleh tanah yang terbuka di bekas hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan yang sangat luas. Sebelumnya kondisi hutan yang rapat dengan akar pepohonannya menjadi pembatas pertumbuhan populasi tikus. Kondisi sebaliknya pembukaan perkebunan sawit baik oleh pembakaran lahan menyebabkan kelompok tikus yang mampu bertahan akan bermigrasi ke lahan-lahan terbuka.
Kelompok-kelompok tikus akan mendatangi tanah perkebunan yang terbuka untuk membangun lubang-lubang ini sebagai rumah baru. Tikus-tikus ini juga memanfaatkan bagian-bagian rawa yang telah kering sebagai sarangnya. Sedangkan pada perkebunan sawit yang sudah berproduksi banyak ditemukan sarang tikus yang dibangun dari tumpukan pelepah daun sawit. Selain itu biji sawit menjadi satu makanan melimpah yang disukai tikus sehingga mendorong ledakan populasi hama ini.
Ledakan populasi tikus ini juga diikuti dengan peningkatan populasi predator alaminya yaitu ular kobra (Naja sputatrix). Kasus serangan Kobra juga banyak dilaporkan terjadi di perkebunan sawit pada para pekerja yang lengah tidak akan menyadari keberadaan hewan ini. Ketika mereka sedang membersihkan pohon sawit, Sang ular sering menyerang petani dari atas pohon. Umumnya kasus-kasus ini terjadi di ladang atau kebun sekitar hutan ketika orang banyak yang aktif bekerja pada siang hari. Ular berbisa biasanya aktif hanya pada malam hari. Pengecualian diberikan pada King Kobra yang aktif pada siang hari.
Uniknya walaupun rumah Kobra ada di hutan, kasus gigitan Kobra sangat jarang terjadi di hutan. Mungkin karena merasa terusik dengan kehadiran manusia yang dianggap mengganggunya, maka ular ini mengambil inisiatif menyerang lebih dahulu.

Imigrasi Nyamuk Malaria
 Kalimantan memiliki banyak sungai dan rawa yang mengalami perubahan ekosistem, sehingga dampak pembukaan kawasan hijau ini mendorong ledakan populasi hama.  Hancurnya ekosistem hutan yang selama ini menjadi habitat berbagai satwa telah mendorong munculnya berbagai penyakit yang merugikan manusia. Satwa liar yang terusir dari habitatnya dipaksa harus beradaptasi dan bermigrasi ke dalam lingkungan baru.
Sebuah studi kasus terbaru di Kabupaten Sukamara yang dilaporkan oleh sejumlah dokter, mantri, dan petugas kesehatan yang mencatat terdapat kenaikan angka yang signifikan terhadap penderita penyakit malaria. Dalam catatan kesehatan selama 5 tahun terakhir ini diketahui meningkatnya korban malaria yang menyerang penduduk desa dan kota.
Rawa-rawa di dalam perkebunan yang telah dibuka selama ini menjadi kering dan menyebabkan nyamuk-nyamuk ini harus berpindah. Rawa-rawa di desa dan kota yang masih ada menjadi sasaran migrasi nyamuk malaria ini. Selain itu kegiatan penyemprotan herbisida dan pestisida setiap 2 bulan sekali mendorong nyamuk-nyamuk hutan harus terusir dari habitat alaminya.
Penggunaan bahan kimia Herbisida yang amat beracun Paraquat dichloride atau paraquat yang tidak diawasi,  didokumentasi dan dimonitoring, untuk pembasmi semak belukar yang berdampak sangat fatal bila terhirup, tertelan atau terserap lewat kulit DAN tidak dapat dipulihkan karena belum diketahui bahan antidot jika seseorang keracunan. Ancaman perembesan dan meluapnya limbah pengolahan kelapa sawit (POME) yang memiliki sifat penyerapan oksigen (Biological oxygen demand) yang tinggi, sehingga sangat polutan terhadap aliran air dan menimbulkan dampak yang sangat negatif terhadap kehidupan air di bagian hilir sungai.

Punahnya ikan air tawar
 Dalam kebun sawit ini lingkungan akan mengalami proses “racunisasi” yang berasal dari pestisida, herbisida dan fertilizer yang disuguhkan sebagai konsumsi sawit dalam luasan jutaan hektare tersebut. Ini akan menjadi ancaman bagi wilayah Kalimantan yang memiliki sungai-sungai besar, dimana sebagian besar kehidupan rakyat tergantung dengan air sungai.
Lalu bagaimana bisa dikatakan tidak akan membahayakan sumber air kehidupan rakyat, jika pupuk saja harus disuguhkan sebanyak 8 kg/pohon/tahun. Dengan demikian artinya apabila ada satu juta hektare kebun sawit, maka akan ada perhitungan 1 juta (x) 140 pohon (x) 8 kg, sejumlah 1,12 milyar kilogram pupuk yang akan beredar di tanah Kalteng setiap tahunnya dan siap mengalir keseluruh sungai yang ada. Ini baru pupuk, belum lagi racun paracuat pestisida dan herbisida, yang dampaknya akan terasa setelah sekian lama nanti, disamping limbahnya.
Kasus kepunahan jenis-jenis ikan ini kami temukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Jelai Kabupaten Sukamara. Para nelayan di sepanjang sungai ini mengeluhkan beberapa jenis ikan sudah sangat jarang  ditemukan. Hal ini dapat dilihat dari matinya ikan-ikan di daerah aliran sungai. Pengakuan para nelayan ini dalam 5 tahun terakhir beberapa jenis ikan sudah sangat sulit ditemukan dan diduga telah mengalami kepunahan lokal. Misalnya jenis ikan belida (Notopterus sp.) yang menjadi primadona daerah ini krupuk amplang. Pengamatan fakta ini sejak tahun 2004 ketika mulai berdirinya pabrik pengolahan CPO di daerah hulu sungai (comm. pers).  Sawit menyebabkan hilangnya mata pencaharian para nelayan sungai karena matinya ikan-ikan di daerah aliran sungai tersebut.
Pencemaran limbah olahan  pabrik Sawit ini juga telah menyebabkan pencemaran air dan menjadikan kualitas air sungai Jelai dan Sungai Mapam yang melalui kabupaten ini menjadi buruk bagi masyarakat sekitar sungai. Pada tahun 2006 masyarakat mengeluhkan pabrik CPO membuang limbah olahan pabrik ke sungai yang telah menyebabkan timbulnya penyakit kulit berupa gatal – gatal dan dirasakan masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kasus yang sama juga terjadi di sepanjang Sungai Sekonyer (Kumai) yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tanjung Puting, sejak berdirinya pabrik pengolahan CPO. Setiap waktunya setiap pabrik mengambil andil membuang limbahnya di sungai ini. Pada tahun 2006 terjadi bencana matinya ikan-ikan yang teracuni limbah di sekitar sungai. Rendahnya pengetahuan masyarakat sehingga ikan-ikan tercemar ini  banyak dijual di pasar lokal Kumai.

Sungai Buaya
 Menurut Dr. Gusti Zakaria Auskari (Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura) pembukaan lahan sawit skala besar mengakibatkan terjadi kerusakan ekosistem dan Lingkungan alam. Akan banyak dampak hilangnya unsur hara ( Penyubur tanah ) akan menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai, kemandulan tanah, musnahnya keragaman hayati.
Dalam 5 tahun terakhir kami menemukan sebuah kasus yang agak aneh ketika setiap musim kering buaya masuk ke wilayah Sungai Arut (Pangkalan Bun) dan menyerang manusia. Masyarakat lokal mengajukan  alasannya buaya masuk kampung ini karena alasan hilangnya ikan-ikan sungai yang selama ini menjadi pakan alaminya. Sebagaimana diketahui hari ini daerah hulu Sungai Arut telah mengalami konversi lahan yang cukup luas menjadi perkebunan sawit. Pembukaan lahan skala besar ini telah mempercepat proses sedimentasi sungai makin cepat yang dikenal masyarakat sebagai fenomena air susu yang menggambarkan erosi tanah yang tinggi.  
Erosi tanah meningkat lima sampai tujuh kali lebih tinggi selama pembukaan lahan, dan Sedimentasi di sungai-sungai meningkat empat kali lipat, karena erosi tanah akibat pembukaan lahan yang menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas. Akibat perubahan kondisi lingkungan oleh pembukaan hutan, hanya sedikit hewan yang mampu bertahan dalam kondisi yang baru, dan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar perkebunan yang telah terbuka hutannya (BOS Nyaru Menteng Campaign 2006). 

Kerusakan Pertanian
Tanaman sawit tidak selamanya berproduksi, produksi sawit tertinggi pada usia 8-9 tahun, setelah itu produksinya akan terus menurun, kemudian mati. Sawit tanaman yang monokultur, tidak bisa hidup berdampingan dengan tanaman lain karena sawit termasuk tanaman yang sangat rakus terhadap unsur hara tanaman dan air tanah (BOS Nyaru Menteng Campaign, 2006).
Jika masyakat memberikan lahannya untuk ditanami sawit, MAKA tidak ada harapan untuk mendapatkan penghasilan lain selama masa penanaman ulang -- Resiko ini hampir tidak pernah dijelaskan oleh pihak perusahaan kepada masyarakat. Jika sawit ditanam ulang pada lahan eks perkebunan sawit, akan memerlukan waktu 5 tahun dan biaya yang sangat besar. Keseluruhan akar tanaman sawit harus dicabut dengan menggunakan peralatan yang modern dan mahal, kemudian lahan yang sudah bersih harus diistirahatkan.

Kerusakan Hutan
Konversi lahan Sawit ini mendorong perubahan ekosistem mengubah hutan dengan banyak pohon (heterogen) menjadi satu jenis tanaman (monokultur) sawit. Tanaman sawit merupakan tanaman bersifat monokultur, sehingga sulit bagi tanaman lain bisa hidup disekitarnya.
Sawit menyebabkan hilangnya keragaman hayati dimana berbagai jenis pohon dan hewan yang hidup di dalamnya musnah dari alam. Perkebunan kelapa sawit hanya dapat mendukung kehidupan 0-20% spesies mamalia, reptil dan burung yang umumnya tinggal dihutan hujan primer.
Polusi Udara akibat kebakaran hutan dan Lahan Gambut yang terjadi antara selama 1997-1998 menunjukkan bahwa 46-80% kebakaran yang lebih besar terjadi dalam daerah konsesi perkebunan, dengan sekitar tiga perempatnya terjadi di perkebunan kelapa sawit (pers. comm). Penelitian juga menunjukkan kebakaran yang lebih besar di sekitar daerah Kobar dan Kotim mengakibatkan lahan panas dan kering, menghasilkan asap yang mengandung zat beracun yang berbahaya untuk kesehatan.
Laporan Forest Watch Indonesia pada tahun 2002 menyatakan bahwa laju kerusakan hutan mencapai 1,7 juta hektar per tahun. Bahkan pada tahun 2003, Departemen Kehutanan mengatakan bahwa laju kerusakan hutan mencapai 3,4 juta hektar per tahun yang diakibatkan oleh berbagai sebab.Menurut Bank Dunia jika eksploitasi hutan oleh pengusaha HPH tidak dihentikan hari ini juga, maka diramalkan akan menyebabkan kepunahan hutan di Kalimantan pada tahun 2010, sedangkan hutan di Sumatera akan punah pada 2005. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar