Marilah kita melihat rangkaian bencana yang sedang terjadi
dan akan menimpa Kalimantan yang berdasarkan hasil kajian kami sejak 2004
-2009.
Serangan Belalang Kembara
Beberapa waktu yang lalu
tepatnya pada tahun 2005, lahan pertanian masyarakat di sebagian wilayah Kalteng
hancur diserang hama belalang Kembara. Anehnya, hampir semua lokasi yang
menjadi serangan belalang Kembara tersebut berada di wilayah pertanian di sekitar areal sawit dari Sampit, Kotawaringin, Pangkalan Bun,
Kumai, Sukamara, dan Manismata. Hampir sepertiga wilayah yang terserang hama ini adalah
lahan perkebunan kelapa sawit skala besar.
Muncul kecurigaan masyarakat bahwa
hama belalang tersebut jadi “mengganas” justru diakibatkan oleh adanya
perkebunan sawit tersebut. Argumen yang disampaikan oleh masyarakat sederhana
saja, menurut mereka sebelum masuknya perkebunan sawit di sana, hama belalang Kembara boleh dikatakan tidak ada
sama sekali. Lalu mengapa sekarang belalang ini begitu mengganas ? Dalam
beberapa jam saja tanaman padi mereka yang hampir siap panen pun musnah
dihantam belalang Kembara.
Serangan ini telah terjadi 2 kali dengan siklus lima tahun yaitu serangan
pertama pada September 2000 dan pada 2005. Hama ini merupakan salah satu faktor penghambat dalam program peningkatan
produksi tanaman. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kotawaringin Barat Ir. Khairil Anwar hama belalang
kembara dan tikus merupakan musuh masyarakat petani dan peladang di daerah ini (Palangka
Post, 11/7/2006).
Ada dugaan belalang Kembara
menyukai hamparan terbuka yang luas, dan hamparan besar ini menjadi “rumah”
mewah bagi Belalang Kembara. Pembukaan perkebunan sawit membutuhkan lahan yang
besar, dan rata-rata dalam satu hamparan bisa sampai ribuan hektar. Dari hasil
pengamatan lapang Dinas Pertanian Kotawaringin Barat menemukan bahwa masih ada
spot-spot hama belalang kembara yang sewaktu-waktu dapat berkembang (Palangka Post, 11/7/2006).
Meskipun belum ada riset
khusus yang membuktikan dampak ekologis pembukaan perkebunan sawit dalam skala
besar yang “mengundang” kehadiran hama belalang Kembara. Namun bila dipelajari
perilaku Belalang ini mempunyai sifat yang cenderung membentuk
kelompok yang besar dan suka berpindah-pindah (berimigrasi). Dalam waktu yang
singkat kelompok ini dapat menyebar pada areal yang luas. Kelompok yang
berimigrasi dapat memakan tumbuhan yang dilewatinya selama dalam perjalanan.
Perilaku makan belalang kembara dewasa biasanya diwaktu
hinggap pada sore hari sampai malam dan pada pagi hari sebelum terbang.
Kelompok Nimfa yang berimigrasi dapat memakan tumbuhan yang dilokasi selama
dalam perjalanan. Dalam serangan pada lahan pertanian
di sekitar areal sawit dilaporkan hama belalang Kembara menyerang jenis-jenis
tanaman dari Famili Graminae seperti
padi, jagung, tebu, dan ilalang. Dan terkadang
belalang juga menyerang daun-daun kelapa dan tanaman dari golongan Palma
lainnya.
Selama ini Belalang Kembara diketahui merupakan hama
penting di Indonesia dan pernah terjadi ledakan Populasi hama tersebut. Kerusakan
dan kerugian yang ditimbulkan olah hama belalang kembara sangat bervariasi
diikuti dengan peningkatan populasi yang tinggi.Terdapat sejumlah wilayah yang
pernah diserangnya seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Lampung, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Barat.
Wabah Tikus, dan Ular Kobra
Hilangnya ekosistem alami menjadi perkebunan monokultur mendorong perubahan
ekosistem. Hal
ini berdampak pada banyak tumbuhan alami
lainnya yang musnah, dan ujungnya juga akan berpengaruh terhadap perubahan rantai
makanan (flora-fauna). Ekosistem baru yang monokultur ini miskin hara dan bersifat
rentan terhadap serangan hama. Lingkungan baru ini akhirnya mendorong
perkembangan jenis-jenis hewan-hewan tertentu yang kerap menjadi hama pertanian. Ekosistem ini sebaliknya mendukung bagi perkembangbiakan
tikus tanah, belalang kembara, dan kodok yang mendominasi kawasan tersebut.
Kasus serangan hama tikus terjadi sejak 5 tahun terakhir dan menyerang
banyak persawahan, perladangan, dan pemukiman penduduk di pedesaan dan
perkotaan yang berbatasan langsung dengan perkebunan. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kotawaringin Barat Ir. Khairil
Anwar hama belalang kembara dan tikus merupakan musuh masyarakat petani dan
peladang di daerah ini (Palangka Post, 11/7/2006).
Ledakan populasi tikus ini dipicu oleh tanah yang terbuka di bekas hutan
yang telah dikonversi menjadi perkebunan yang sangat luas. Sebelumnya kondisi hutan yang rapat dengan
akar pepohonannya menjadi pembatas pertumbuhan populasi tikus. Kondisi
sebaliknya pembukaan perkebunan sawit baik oleh pembakaran lahan menyebabkan kelompok tikus yang mampu bertahan akan bermigrasi ke lahan-lahan
terbuka.
Kelompok-kelompok tikus akan mendatangi tanah perkebunan yang terbuka untuk
membangun lubang-lubang ini sebagai rumah baru. Tikus-tikus ini juga memanfaatkan
bagian-bagian rawa yang telah kering sebagai sarangnya. Sedangkan pada
perkebunan sawit yang sudah berproduksi banyak ditemukan sarang tikus yang dibangun
dari tumpukan pelepah daun sawit. Selain itu biji sawit menjadi satu makanan
melimpah yang disukai tikus sehingga mendorong ledakan populasi hama ini.
Ledakan populasi tikus ini juga diikuti dengan peningkatan populasi
predator alaminya yaitu ular kobra (Naja sputatrix).
Kasus serangan Kobra juga banyak dilaporkan terjadi di
perkebunan sawit pada para pekerja yang lengah tidak akan menyadari keberadaan
hewan ini. Ketika mereka sedang membersihkan pohon sawit, Sang ular sering
menyerang petani dari atas pohon. Umumnya kasus-kasus ini terjadi di ladang
atau kebun sekitar hutan ketika orang banyak yang aktif bekerja pada siang hari.
Ular berbisa biasanya aktif hanya pada malam hari. Pengecualian diberikan pada
King Kobra yang aktif pada siang hari.
Uniknya walaupun rumah Kobra ada di hutan, kasus gigitan Kobra sangat
jarang terjadi di hutan. Mungkin karena merasa terusik dengan kehadiran manusia
yang dianggap mengganggunya, maka ular ini mengambil inisiatif menyerang lebih
dahulu.
Imigrasi
Nyamuk Malaria
Kalimantan memiliki banyak sungai dan rawa yang mengalami perubahan
ekosistem, sehingga dampak pembukaan kawasan hijau ini mendorong ledakan
populasi hama. Hancurnya
ekosistem hutan yang selama ini menjadi habitat berbagai satwa telah mendorong
munculnya berbagai penyakit yang merugikan manusia. Satwa liar yang terusir
dari habitatnya dipaksa harus beradaptasi dan bermigrasi ke dalam lingkungan
baru.
Sebuah studi kasus terbaru di Kabupaten Sukamara yang
dilaporkan oleh sejumlah dokter, mantri, dan petugas kesehatan yang mencatat
terdapat kenaikan angka yang signifikan terhadap penderita penyakit malaria.
Dalam catatan kesehatan selama 5 tahun terakhir ini diketahui meningkatnya
korban malaria yang menyerang penduduk desa dan kota.
Rawa-rawa di dalam perkebunan yang telah dibuka selama
ini menjadi kering dan menyebabkan nyamuk-nyamuk ini harus berpindah. Rawa-rawa
di desa dan kota yang masih ada menjadi sasaran migrasi nyamuk malaria ini.
Selain itu kegiatan penyemprotan herbisida dan pestisida
setiap 2 bulan sekali mendorong nyamuk-nyamuk hutan harus terusir dari habitat
alaminya.
Penggunaan
bahan kimia Herbisida yang amat beracun Paraquat dichloride atau
paraquat yang tidak diawasi,
didokumentasi dan dimonitoring, untuk pembasmi semak belukar yang
berdampak sangat fatal bila terhirup, tertelan atau terserap lewat kulit DAN
tidak dapat dipulihkan karena belum diketahui bahan antidot jika seseorang
keracunan. Ancaman perembesan dan meluapnya limbah pengolahan kelapa sawit
(POME) yang memiliki sifat penyerapan oksigen (Biological oxygen demand) yang
tinggi, sehingga sangat polutan terhadap aliran air dan menimbulkan dampak yang
sangat negatif terhadap kehidupan air di bagian hilir sungai.
Punahnya ikan air tawar
Dalam kebun sawit ini
lingkungan akan mengalami proses “racunisasi” yang berasal dari pestisida,
herbisida dan fertilizer yang disuguhkan sebagai konsumsi sawit dalam luasan
jutaan hektare tersebut. Ini akan menjadi ancaman bagi wilayah Kalimantan yang memiliki sungai-sungai besar, dimana sebagian besar
kehidupan rakyat tergantung dengan air sungai.
Lalu bagaimana bisa dikatakan tidak akan membahayakan sumber air kehidupan
rakyat, jika pupuk saja harus disuguhkan sebanyak 8 kg/pohon/tahun. Dengan
demikian artinya apabila ada satu juta hektare kebun sawit, maka akan ada
perhitungan 1 juta (x) 140 pohon (x) 8 kg, sejumlah 1,12 milyar kilogram pupuk
yang akan beredar di tanah Kalteng setiap tahunnya dan siap mengalir keseluruh
sungai yang ada. Ini baru pupuk, belum lagi racun paracuat pestisida dan
herbisida, yang dampaknya akan terasa setelah sekian lama nanti, disamping
limbahnya.
Kasus kepunahan jenis-jenis ikan ini kami temukan di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Jelai Kabupaten Sukamara. Para nelayan di sepanjang sungai ini mengeluhkan
beberapa jenis ikan sudah sangat jarang
ditemukan. Hal ini dapat dilihat dari matinya ikan-ikan di daerah aliran
sungai. Pengakuan para nelayan ini dalam 5 tahun terakhir beberapa jenis ikan
sudah sangat sulit ditemukan dan diduga telah mengalami kepunahan lokal. Misalnya
jenis ikan belida (Notopterus sp.)
yang menjadi primadona daerah ini krupuk amplang. Pengamatan fakta ini sejak tahun
2004 ketika mulai berdirinya pabrik pengolahan CPO di daerah hulu sungai (comm. pers). Sawit menyebabkan hilangnya mata pencaharian
para nelayan sungai karena matinya ikan-ikan di daerah aliran sungai tersebut.
Pencemaran limbah olahan pabrik
Sawit ini juga telah menyebabkan pencemaran air dan menjadikan kualitas air
sungai Jelai dan Sungai Mapam yang melalui kabupaten ini menjadi buruk bagi
masyarakat sekitar sungai. Pada tahun 2006 masyarakat mengeluhkan pabrik CPO membuang
limbah olahan pabrik ke sungai yang telah menyebabkan timbulnya penyakit kulit
berupa gatal – gatal dan dirasakan masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai
(DAS).
Kasus yang sama juga terjadi di sepanjang Sungai Sekonyer (Kumai) yang
berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tanjung Puting, sejak berdirinya
pabrik pengolahan CPO. Setiap waktunya setiap pabrik mengambil andil membuang
limbahnya di sungai ini. Pada tahun 2006 terjadi bencana matinya ikan-ikan yang
teracuni limbah di sekitar sungai. Rendahnya pengetahuan masyarakat sehingga
ikan-ikan tercemar ini banyak dijual di
pasar lokal Kumai.
Sungai Buaya
Menurut Dr. Gusti Zakaria Auskari (Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Tanjung Pura) pembukaan lahan sawit skala besar mengakibatkan
terjadi kerusakan ekosistem dan Lingkungan alam. Akan banyak dampak hilangnya
unsur hara ( Penyubur tanah ) akan menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai,
kemandulan tanah, musnahnya keragaman hayati.
Dalam 5 tahun terakhir kami menemukan sebuah kasus yang agak aneh ketika
setiap musim kering buaya masuk ke wilayah Sungai Arut (Pangkalan Bun) dan
menyerang manusia. Masyarakat lokal mengajukan
alasannya buaya masuk kampung ini karena alasan hilangnya ikan-ikan
sungai yang selama ini menjadi pakan alaminya. Sebagaimana diketahui hari ini
daerah hulu Sungai Arut telah mengalami konversi lahan yang cukup luas menjadi
perkebunan sawit. Pembukaan lahan skala besar ini telah mempercepat proses
sedimentasi sungai makin cepat yang dikenal masyarakat sebagai fenomena air
susu yang menggambarkan erosi tanah yang tinggi.
Erosi tanah meningkat lima sampai tujuh kali lebih
tinggi selama pembukaan lahan, dan Sedimentasi di sungai-sungai meningkat empat
kali lipat, karena erosi tanah akibat pembukaan lahan yang menyebabkan
hilangnya lapisan tanah atas. Akibat perubahan kondisi
lingkungan oleh pembukaan hutan, hanya sedikit hewan yang mampu bertahan dalam
kondisi yang baru, dan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat yang
tinggal di dalam dan di sekitar perkebunan yang telah terbuka hutannya (BOS Nyaru Menteng Campaign 2006).
Kerusakan Pertanian
Tanaman
sawit tidak selamanya berproduksi, produksi sawit tertinggi pada usia 8-9
tahun, setelah itu produksinya akan terus menurun, kemudian mati. Sawit tanaman
yang monokultur, tidak bisa hidup berdampingan dengan tanaman lain karena sawit
termasuk tanaman yang sangat rakus terhadap unsur hara tanaman dan air tanah (BOS Nyaru Menteng Campaign, 2006).
Jika
masyakat memberikan lahannya untuk ditanami sawit, MAKA tidak ada harapan untuk
mendapatkan penghasilan lain selama masa penanaman ulang -- Resiko ini hampir
tidak pernah dijelaskan oleh pihak perusahaan kepada masyarakat. Jika sawit
ditanam ulang pada lahan eks perkebunan sawit, akan memerlukan waktu 5 tahun
dan biaya yang sangat besar. Keseluruhan akar tanaman sawit harus dicabut
dengan menggunakan peralatan yang modern dan mahal, kemudian lahan yang sudah
bersih harus diistirahatkan.
Kerusakan Hutan
Konversi lahan Sawit ini mendorong perubahan ekosistem mengubah hutan
dengan banyak pohon (heterogen) menjadi satu jenis tanaman (monokultur) sawit. Tanaman sawit merupakan
tanaman bersifat monokultur, sehingga sulit bagi tanaman lain bisa hidup
disekitarnya.
Sawit menyebabkan hilangnya keragaman hayati dimana berbagai jenis pohon
dan hewan yang hidup di dalamnya musnah dari alam. Perkebunan
kelapa sawit hanya dapat mendukung kehidupan 0-20% spesies mamalia, reptil dan
burung yang umumnya tinggal dihutan hujan primer.
Polusi Udara akibat kebakaran hutan dan Lahan Gambut yang terjadi antara selama
1997-1998 menunjukkan bahwa 46-80% kebakaran yang lebih besar terjadi dalam
daerah konsesi perkebunan, dengan sekitar tiga perempatnya terjadi di perkebunan
kelapa sawit (pers. comm). Penelitian juga menunjukkan
kebakaran yang lebih besar di sekitar daerah Kobar dan Kotim mengakibatkan lahan panas dan kering, menghasilkan
asap yang mengandung zat beracun yang berbahaya untuk kesehatan.
Laporan Forest Watch Indonesia pada tahun 2002 menyatakan
bahwa laju kerusakan hutan mencapai 1,7 juta hektar per tahun. Bahkan pada
tahun 2003, Departemen Kehutanan mengatakan bahwa laju kerusakan hutan mencapai
3,4 juta hektar per tahun yang diakibatkan oleh berbagai sebab.Menurut Bank
Dunia jika eksploitasi hutan oleh pengusaha HPH tidak dihentikan hari ini juga,
maka diramalkan akan menyebabkan kepunahan hutan di Kalimantan pada tahun 2010,
sedangkan hutan di Sumatera akan punah pada 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar