Bahasa Melayu Pemersatu
Memasyarakatnya bahasa Melayu sebagai bahasa
pergaulan (lingua franca) antar suku di nusantara, karena bahasa Melayu menghubungkan
para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke seluruh kepulauan. Sultan
Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul
kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara. Menurut Alisjahbana,
"Bahasa itu adalah bahasa
perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan,"
tulisnya.
Peta sebaran bahasa Melayu di Nusantara |
Memasyarakatnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan antar suku di nusantara, sehingga bahasa Melayu menjadi bahas pengantar perdagangan dan penyebaran agama Islam. Satu keunggulan bahasa Melayu adalah bahasa
yang mudah dipelajari.
Begitu
pula penyerapan bahasa arab ke dalam bahasa Melayu ini hingga kini telah
banyak ditemukan ribuan kosa kata yang
asalnya adalah dari bahasa Arab. Memang di awal masuknya Islam di nusantara bahasa
Melayu banyak menerima pengaruh bahasa Arab tersebut. Banyak istilah-istilah bahasa
Arab yang dipergunakan dalam bahasa Melayu. Demikian pula perkembangan aksara dengan menggunakan huruf Arab-Melayu.
Azyumardi Azra mengidentifikasi ada beberapa contoh
yang dikemukakannya, yakni khalifat al-mu'minin, yang artinya khalifah kaum mu'min, zhillallah fi al-ardh (bayangan Allah di bumi), dan zhillallah
fi al-'alam (bayangan Allah di dunia). Sedangkan di kerajaan-kerajaan di
Jawa, gelar sejenis juga dipergunakan, seperti ngabdulkamid Erucaraka
Sayidin Panatagama Kalipatullah Rasulullah Sain[i] yang artinya Abdul Hamid Paduka Penata Agama Wakil Allah dan
Rasulullah.
Dalam sejarah kerajaan- Islam di nusantara pada umumnya, dalam proses
Islamisasi setidaknya menggunakan tiga media politik, yaitu (1) Islamisasi
bahasa Arab, meskipun tidak sepenuhnya; (2) perubahan istilah dari kerajaan ke
kesultanan, dan; (3) penggunaan gelar khalifatullah (khalifah) sebagai
alat legitimasi kekuasaan. Ketiga hal di atas disebut Azyumardi Azra sebagai
"bahasa politik Islam" dalam konteks nilai-nilai dan budaya lokal.
Beberapa bukti konversi pada kata kerajaan ke
kesultanan. Artinya, dalam bahasa lokal, raja sekaligus disebut sebagai sultan.
Penggunaan peristilahan ini tidak mengalami proses yang rumit dan
berbelit-belit. Sementara itu, penggunaan kata khalifatullah fil ardh yang artinya wakil Allah di bumi
merupakan bentuk langkah dalam meningkatkan dan menguatkan aura kekuasaannya. Begitu
pula penggunaan Nama Maharaja Sultan dan Mandarsyah. Peristilahan
"Sultan" dan penambahan kata "Syah" pada dua nama raja
tersebut merupakan pengaruh dari Islam.
Melayu Bahasa Administrasi
Surat yang dikirimkan ke Kerajaan Demak oleh Raden
Samudera untuk meminta bantuan dalam memerangi pamannya Pangeran Tumenggung
dari negara Daha tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan dalam bahasa Melayu
padahal saat itu Raden Samudera masih beragama Hindu. Huruf Arab-Melayu itu menjadi huruf yang dipakai dalam Kerajaan Banjar dalam setiap perjanjian dengan
belanda. Undang-undang Sultan Adam 1835 juga tertulis dengan huruf Arab-Melayu
dan dalam bahasa Melayu-Banjar.
Pada
era pemerintahan Belanda, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua
dalam korespondensi dengan orang lokal. Persaingan antara bahasa Melayu dan
bahasa Belanda pun semakin ketat. Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan
bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat.
Meski demikian, pihak belanda secara gigih
menolak bahasa Melayu di Hindia Belanda. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda,
menyarankan supaya sekolah memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon
yang saat itu Direktur Departemen Pengajaran, berhasil memasukkan bahasa
Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan
guru pada 1900. Akhirnya persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa
Melayu. Bagaimanapun bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh
segelintir orang.
Bahasa Melayu Bahasa Pendidikan
Kesusastraan Islam di nusantara dimulai dari
Aceh yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu dan tersebar ke berbagai daerah
seperti Sumatra, di Bima, Maluku, Sulawesi-Buton, Kalimantan. Demikian pula
pengaruhnya ke Banten, Cirebon dan lainnya.
Begitu pula selanjutnya
para ulama yang menyusun kitab-kitab agama selalu menggunakan bahasa Melayu
dengan huruf Arab-Melayu pula. Kitab-kitab ini ditulis oleh para ulama besar
yang sudah terkenal pada saat itu seperti ulama Nuruddin Ar Raniry, Abdurahman Rauf As Singkili, Syekh
Yusuf al Maqasari dan Syaikh Muhammad
Arsyad al-Banjari.
Salah
seorang penyebar Islam di wilayah Kesultanan Pontianak yang aktif
memperkenalkan bahasa Arab yaitu Habib Husein al-Qadri, dimana beliau mengutamakan
penguasaan lughah Arabiah. Salah seorang muridnya yaitu Gusti Jamiril putera
Upu Daeng Menambon menguasai ilmu nahu, saraf dan ilmu-ilmu Arabiah yang
lainnya adalah diperolehnya daripada Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani. Faktor
yang mendukungnya menggunakan bahasa Arab adalah kerana pergaulannya dengan
Habib Husein al-Qadri.
Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah
dan majelis ta’lim para siswa diperkenalkan baca tulis dengan kitab-kitab
melayu yang menggunakan huruf arab. Kitab-kitab ini ditulis oleh para ulama
besar yang sudah terkenal pada saat itu seperti ulama dari Kesultanan Banjar
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dalam bidang pendidikan para sultan
juga membuat kebijakan agar para Ustad dan guru mengajarkan bahasa arab melayu
di sekolah-sekolah dan majelis-mejelis ta’lim. Pengajaran berbahasa arab melayu
ini sempat diterima para orang tua yang mengenyam pendidikan di Kesultanan di Kalimantan.
Tulisan arab dalam
Bahasa Melayu Nusantara dihapuskan oleh penjajah Belanda pada tahun 1905 dengan
dimasukkannya huruf latin dengan ejaan Van Ophuizen. Walaupun kebijakan
penjajahan demikian kuat akan tetapi selama berpuluh tahun di berbagai pondok
pesantren dan sekolah tulisan arab dalam bahasa Melayu dan Jawa masih dipakai
sampai hari ini.
Sampai tahun 1950-an pengajaran berbahasa
arab ini masih diajarkan pada berbagai
jenjang pendidikan di daerah Kesultanan di nusantara. Sistem
pengajaran ini dikenal dengan kajian kitab kuning yang menggunakan bahasa arab
di berbagai madrasah dan majelis ta’lim. Bahasa arab ini kemudian diadaptasikan
lagi berbagai jenis bahasa daerah dengan metode penulisan arab melayu dan arab
jawi.
Karya-karya Syeikh dan Ulama nusantara banyak ditulis dalam bahasa
Arab-Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia
memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih
suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya
Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para muridnya.
Dari samudra Pasai Menuju Kebudayaan Islam Asia
BalasHapuswww.misykah.com