Find us on Google+ Ekologi Nusantara: Bahasa Malayu Pemersatu Nusantara

Minggu, 16 Desember 2012

Bahasa Malayu Pemersatu Nusantara


Bahasa Melayu Pemersatu
Memasyarakatnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) antar suku di nusantara, karena bahasa Melayu menghubungkan para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke seluruh kepulauan. Sultan Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara. Menurut Alisjahbana, "Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan," tulisnya.

Peta sebaran bahasa Melayu di Nusantara


Memasyarakatnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan antar suku di nusantara, sehingga bahasa Melayu menjadi bahas pengantar perdagangan dan penyebaran agama Islam.  Satu keunggulan bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.
Begitu pula penyerapan bahasa arab  ke dalam bahasa Melayu ini hingga kini telah banyak ditemukan  ribuan kosa kata yang asalnya adalah dari bahasa Arab. Memang di awal masuknya Islam di nusantara bahasa Melayu banyak menerima pengaruh bahasa Arab tersebut. Banyak istilah-istilah bahasa Arab yang dipergunakan dalam bahasa Melayu. Demikian pula perkembangan aksara dengan menggunakan huruf Arab-Melayu.
Azyumardi Azra mengidentifikasi ada beberapa contoh yang dikemukakannya, yakni khalifat al-mu'minin, yang artinya khalifah kaum mu'min, zhillallah fi al-ardh (bayangan Allah di bumi), dan zhillallah fi al-'alam (bayangan Allah di dunia). Sedangkan di kerajaan-kerajaan di Jawa, gelar sejenis juga dipergunakan, seperti ngabdulkamid Erucaraka Sayidin Panatagama Kalipatullah Rasulullah Sain[i] yang artinya Abdul Hamid Paduka Penata Agama Wakil Allah dan Rasulullah.
Dalam sejarah kerajaan- Islam di nusantara pada umumnya, dalam proses Islamisasi setidaknya menggunakan tiga media politik, yaitu (1) Islamisasi bahasa Arab, meskipun tidak sepenuhnya; (2) perubahan istilah dari kerajaan ke kesultanan, dan; (3) penggunaan gelar khalifatullah (khalifah) sebagai alat legitimasi kekuasaan. Ketiga hal di atas disebut Azyumardi Azra sebagai "bahasa politik Islam" dalam konteks nilai-nilai dan budaya lokal.
            Beberapa bukti konversi pada kata kerajaan ke kesultanan. Artinya, dalam bahasa lokal, raja sekaligus disebut sebagai sultan. Penggunaan peristilahan ini tidak mengalami proses yang rumit dan berbelit-belit. Sementara itu, penggunaan kata khalifatullah fil ardh yang artinya wakil Allah di bumi merupakan bentuk langkah dalam meningkatkan dan menguatkan aura kekuasaannya. Begitu pula penggunaan Nama Maharaja Sultan dan Mandarsyah. Peristilahan "Sultan" dan penambahan kata "Syah" pada dua nama raja tersebut merupakan pengaruh dari Islam.

Melayu Bahasa Administrasi 
            Surat yang dikirimkan ke Kerajaan Demak oleh Raden Samudera untuk meminta bantuan dalam memerangi pamannya Pangeran Tumenggung dari negara Daha tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan dalam bahasa Melayu padahal saat itu Raden Samudera masih beragama Hindu. Huruf Arab-Melayu itu menjadi huruf yang dipakai dalam Kerajaan Banjar dalam setiap perjanjian dengan belanda. Undang-undang Sultan Adam 1835 juga tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan dalam bahasa Melayu-Banjar.
Pada era pemerintahan Belanda, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam korespondensi dengan orang lokal. Persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda pun semakin ketat. Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat.
        Meski demikian, pihak belanda secara gigih menolak bahasa Melayu di Hindia Belanda. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang saat itu Direktur Departemen Pengajaran, berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900. Akhirnya persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa Melayu. Bagaimanapun bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang.

Bahasa Melayu Bahasa Pendidikan
Kesusastraan Islam di nusantara dimulai dari Aceh yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu dan tersebar ke berbagai daerah seperti Sumatra, di Bima, Maluku, Sulawesi-Buton, Kalimantan. Demikian pula pengaruhnya ke Banten, Cirebon dan lainnya.
                Begitu pula selanjutnya para ulama yang menyusun kitab-kitab agama selalu menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu pula. Kitab-kitab ini ditulis oleh para ulama besar yang sudah terkenal pada saat itu seperti ulama Nuruddin Ar Raniry, Abdurahman Rauf As Singkili, Syekh Yusuf al Maqasari dan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Salah seorang penyebar Islam di wilayah Kesultanan Pontianak yang aktif memperkenalkan bahasa Arab yaitu Habib Husein al-Qadri, dimana beliau mengutamakan penguasaan lughah Arabiah. Salah seorang muridnya yaitu Gusti Jamiril putera Upu Daeng Menambon menguasai ilmu nahu, saraf dan ilmu-ilmu Arabiah yang lainnya adalah diperolehnya daripada Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani. Faktor yang mendukungnya menggunakan bahasa Arab adalah kerana pergaulannya dengan Habib Husein al-Qadri.
                Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah dan majelis ta’lim para siswa diperkenalkan baca tulis dengan kitab-kitab melayu yang menggunakan huruf arab. Kitab-kitab ini ditulis oleh para ulama besar yang sudah terkenal pada saat itu seperti ulama dari Kesultanan Banjar Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dalam bidang pendidikan para sultan juga membuat kebijakan agar para Ustad dan guru mengajarkan bahasa arab melayu di sekolah-sekolah dan majelis-mejelis ta’lim. Pengajaran berbahasa arab melayu ini sempat diterima para orang tua yang mengenyam pendidikan di Kesultanan di Kalimantan.
Tulisan arab dalam Bahasa Melayu Nusantara dihapuskan oleh penjajah Belanda pada tahun 1905 dengan dimasukkannya huruf latin dengan ejaan Van Ophuizen. Walaupun kebijakan penjajahan demikian kuat akan tetapi selama berpuluh tahun di berbagai pondok pesantren dan sekolah tulisan arab dalam bahasa Melayu dan Jawa masih dipakai sampai hari ini.  
Sampai tahun 1950-an pengajaran berbahasa arab ini masih diajarkan pada berbagai jenjang pendidikan di daerah Kesultanan di nusantara. Sistem pengajaran ini dikenal dengan kajian kitab kuning yang menggunakan bahasa arab di berbagai madrasah dan majelis ta’lim. Bahasa arab ini kemudian diadaptasikan lagi berbagai jenis bahasa daerah dengan metode penulisan arab melayu dan arab jawi
                Karya-karya Syeikh dan Ulama nusantara banyak ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para muridnya.

1 komentar:

  1. Dari samudra Pasai Menuju Kebudayaan Islam Asia
    www.misykah.com

    BalasHapus