Find us on Google+ Ekologi Nusantara: Bandar Niaga Nusantara

Selasa, 04 Desember 2012

Bandar Niaga Nusantara


Hasil Bumi Nusantara
Selama ribuan tahun Nusantara telah menjadi tujuan utama jalur sutra perdagangan internasional melalui laut. Melalui jalur perdagangan laut Internasional yang sangat ramai dikunjungi armada asing dari Arab, India, Persia, dan Tiongkok perkenomian nusantara berkembang pesat.  Perdagangan yang meningkat pada masa itu dimungkinkan oleh bangkitnya sebuah negara baru di bagian barat yaitu Kekhilafahan Bani Umayyah ( 660-749M) hingga bani Abbasiyah (750-870M) yang mengadakan ekspedisi besar dari ujung barat Tanah Afrika sampai ke ujung timur wilayah Imperium Cina pada masa Dinasti T’ang (618-907M).
 
Kegiatan ekonomi kedua imperium besar  tersebut  berperan mendorong majunya pelayaran dan perdagangan Asia.  Sumber-sumber tertulis sejarah yang merupakan catatan harian para pelaut Cina, arab, India, dan Persia menjelaskan bahwa tumbuhnya pelayaran dan perdagangan antara Laut Persia dan Laut Cina sejak abad 7 masehi.
Masyarakat dunia mengenal Islam melalui kegiatan perdagangan yang dilakukan para saudagar Arab yang telah menetap di kota-kota pelabuhan. Interaksi pedagang bersama masyarakat pribumi ini akhirnya mendapat simpati penduduk pribumi lebih-lebih masyarakat golongan bangsawan dan raja-raja yang memiliki saham besar dalam perdagangan tersebut.
Para pendakwah Muslim dari Arab, Persia, Turki dan India sampai di negeri ini melalui perdagangan  dimana mereka masuk melalui penguasaan pasar. Di pasar-pasar inilah para pedagang Arab berinteraksi dengan pedagang-pedagang dari negeri yang jauh seperti India dan China.  Melalui kepandaian berdagang para saudagar dari negeri yang jauh tersebut, mudah di terima dan memperoleh dukungan dari penduduk negeri asing yang dikunjunginya. Melalui pasar-pasar para pedagang ini, ajaran Islam  menyebar luas di Nusantara.

Bandar Samudra Pasai
Dimasa kejayaannya Samudra Pasai merupakan pusat perdagangan internasional. Bandarnya begitu ramai dikunjungi para saudagar dari berbagai benua seperti Asia, Afrika, Cina, dan Eropa. Sebagian ahli sejarah meyakini kata Samudra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti laut. Sedangkan kata Pasai berasal dari Parsi, Parsee, atau Pase. Pada saat itu banyak pedagang dan saudagar muslim yang datang dari Persia India yang berdagang ke nusantara. 
Dalam catatan perjalanannya keliling dunia penjelajah Muslim dari Maroko Ibnu batuta yang berjudul “Tuhfat al Nazha” menggambarkan keindahan bandar Samudra Pasai, “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah”. Menurut Ibnu batuta yang datang pada masa kekuasaan Sultan malik al Zahir (1297-1326) mencatat berbagai kemajuan ekonomi yang terjadi di Samudra Pasai.
Dalam perjalanan panjang ke Cina yang ditempuh Ibnu Battuta sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai Sang selama 15 hari. Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battuta akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battuta itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.
Pada era kepemimpinan Al-Zahir, Samudera Pasai mencapai puncak kejayaannya. Ibnu Battuta yang berkunjung di era kepemimpinan Al-Zahir mencatat berbagai kemajuan yang telah dicapai Samudera Pasai. Battuta juga tak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat kerajaan itu. Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Daerah Aceh sejak abad ke 13 sampai awal abad ke 16 merupakan wilayah penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia. Komoditas yang menjadi andalan  Pasai  dimana setiap tahunnya sanggup mengekspor lada sekitar 8.000 hingga 10.000 bahara. Tak Cuma itu Pasai pun merupakan produsen komoditas lainnya seperti sutra, kapur barus serta emas.
Ibnu Batuta menuliskan Samudra Pasai begitu maju dengan digunakannya mata uang emas (Dirham) sebagai alat pertukaran internasional antar pedagang. Nilai kandungan emas dimata uang Dirham ini yaitu sekitar 0,60 gram dengan kadar emas 18 karat dengan diameter 10 mm.
Selain menjalin hubungan baik dengan pedagang-pedagang luar, bandar Pasai ini juga melayani para pedagang dari pulau Jawa. Bahkan saudagar dari Pulau jawa mendapatkan pelayanan istimewa dengan tidak dipungutnya pajak. Biasanya para saudagar dari jawa menukar beras dengan lada yang dikenal sebagai perdagangan barter.      

Bandar Malaka
Posisi geopolitik Bandar Malaka selama berabad-abad yang lalu merupakan salah satu jalur sutra perdagangan laut Internasional yang ramai di Selat Malaka. Sebelum abad ke 15 Malaka sudah terkenal sebagai suatu kawasan penting yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.
Selama berabad-abad Malaka merupakan pelabuhan transit yang sangat ramai dikunjungi armada asing dengan pedagang-pedagang dari Arab, India, Persia, Tiongkok. Perdagangan yang meningkat pada masa itu dimungkinkan oleh bangkitnya sebuah negara baru Kekhilafahan Bani Umayyah di bagian barat yang mencari sumber-sumber perekonomian dari kerajaan Cina di bagian timur.
Kesultanan Malaka berkembang pesat menjadi sebuah station relay dan menjadi pelabuhan terbesar di nusantara pada abad ke-16. Untuk menggambarkan besarnya pelabuhan Malaka pada masa itu yang mampu menampung sekitar dua ribu kapal dengan berbagai ukuran pada satu musim. Para pedagang dari seluruh dunia menggunakan Malaka sebagai jalur penghubung ke barat mulai dari India, Persia, Arabia, Syam, Afrika timur dan Laut Tengah.
Bandar Malaka merupakan daerah pengawasan Sriwijaya yang sering dilalui kapal-kapal dagang para saudagar Muslim untuk melakukan kegiatan perniagaan ke daerah Timur jauh dan Asia Tenggara. Penguasaan Selat Malaka oleh Sriwijaya menjadi sangat penting kedudukannya karena merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan rakyat nusantara pada masa itu.
Para pedagang di sana datang dari beragam bangsa mulai dari Nusantara seperti dari pantai utara pulau Jawa, Palembang, Johor, Malaka, sedangkan orang asing terdiri dari orang Campa, Cina, Arab, India. Hubungan dagang antara Malaka, Jawa, Kalimantan, dan Maluku telah diberitakan oleh pelaut Portugis Tome Pires dan Antonio Galvao.
Ketika imperialisme barat yang dipimpin oleh imperialis Portugis merebut Malaka (1511), saat itu Malaka sebenarnya sudah menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, maka para pedagang dan ulama yang ada di Malaka segera keluar meninggalkan dari daerah ini. Mereka kemudian mendirikan bandar-bandar baru sebagai pusat-pusat niaga. Bandar niaga muslim yang lahir setelah jatuhnya Malaka di antaranya Aceh, Demak, Palembang, dan Makassar.

Bandar Demak
Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan.
Karena memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka.
Hubungan perdagangan yang sudah berlangsung lama dengan kerajaan dan pedagang Muslim, menyebabkan daerah-daerah pelabuhan itu menjadi pusat pertumbuhan masyarakat Muslim. Pada tahap pertama hubungan antara raja-raja Majapahit dengan daerah kekuasaannya di daerah pesisir berjalan seperti biasa, tetapi setelah para Adipati pesisir itu memeluk Islam dan mempunyai posisi perdagangan yang mantap dan kekuatan yang besar, barulah terasa ancaman itu datangnya dari para Adipati Pesisir.
Masyarakat merasa tenteram dan damai dalam ayoman Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya, karena disangga kepastian daulat hukum Kesultanan Demak Bintoro kala itu, berpijak pada syariah Islam.
Kesultanan Islam Demak Bintoro beserta perangkat konstitusinya bisa dikatakan sebagai puncak karya dan pengabdian mereka. Semua itu hasil perjuangan berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat Islam di wilayah kerajaan Majapahit yang sudah rapuh. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara.

Bandar Brunei
Gambaran sejarah kegiatan perekonomian orang Brunei (orang Puni di masa Dinasti Ming, tahun 1368-1643 M) pada masa itu sering melakukan hubungan perniagaan (pertukaran barang) dengan Negeri Cina. Perniagaan Brunei dengan pedagang Cina dimulai setelah kapal Cina berlabuh selama tiga hari, baru kemudian Raja Puni memulai menaksir harga tiap-tiap barang.
Ketika dinasti Ming berkuasa, beberapa barang perniagaan yang ditukarkan pada masa itu berupa tikar emas, tembikar, porselen, timah, barang perak, emas, kain sutera, kain kasa, dan kiap. Sebaliknya barang-barang yang diperoleh dari Cina di antaranya yaitu berupa kapur barus, tanduk rusa, timah, gelang dari gading gajah, kulit kura-kura, sarang burung walet, wangi-wangian, kayu cendana, lilin lebah, dan rempah-rempah. Selain dengan Cina, Kesultanan Puni juga memiliki hubungan perdagangan dengan Kochin, Jawa, Singapura, Pahang, Terengganu, Kelantan, serta negeri-negeri sekitar Siam.
Ketika masa kepemimpinan Sultan Mohammad Hasan (1582-1598 M), beliau sukses mengembalikan masa kejayaan perniagaan Brunei di masa lalu. Pada masa ini, terlihat kemajuan di berbagai bidang, di antaranya bidang pendidikan, keagamaan, serta perdagangan.
Setelah Sultan Mohammad Hasan (1582-1598 M), kejayaan Brunei memudar karena perebutan kekuasaan dan juga bertumbuhnya pengaruh kekuasaan kolonial Eropa di daerah itu yang mengacaukan jalur-jalur perdagangan tradisional, menghancurkan dasar ekonomi Brunei dan banyak kesultanan Asia Tenggara lainnya. Brunei kemudian memasuki masa penurunan akibat usaha internal atas suksesi Kesultanan, ekspansi kolonial dari kekuatan Eropa dan pembajakan laut.

Bandar Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa ini mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate dibawah pimpinan Sultan Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu. Melalui seorang da’i bernama Datuk Ri Bandang agama Islam masuk ke kerajaan ini dan pada tanggal 22 September 1605 Karaeng Tonigallo, raja Gowa yang pertama memeluk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin Al Awwal (1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa.
Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam Gowa Tallo menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera menerima pesan Islam diikuti oleh raja Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone yang bergelar Sultan Adam menerima Islam tanggal 23 November 1611 M. Dengan demikian Gowa (Makasar) menjadi kerajaan yang berpengaruh dan disegani.
Pelabuhannya sangat ramai disinggahi para pedagang dari berbagai daerah dan manca negara. Hal ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi kerajaan Gowa (Makasar). Puncak kejayaan kerajaan Makasar terjadi pada masa Sultan Hasanuddin (1653-1669).
Bahkan menurut catatan Christian Pelras (seorang ilmuwan bangsa Prancis) menulis dalam bukunya bahwa sekitar abad 17 M orang Bugis (pedagang dari Wajo’ Makasar) telah menyusun undang-undang Maritim. Peraturan ini disusun oleh Amanna Gappa sebagai kepala komunitas Wajo’ di Makasar, dimana ia menjabat antara tahun 1697 hingga 1723. Dalam salah satu bab buku tersebut, termuat daftar daerah-daerah pemberangkatan dan tujuan perahu-perahu Bugis pada saat itu. Di dalam Undang-undang Maritim ini ditetapkan Pelabuhan nusantara yang menjadi bandar tujuan dan singgahan dari kapal-kapal dagang dari Bugis. (Pelras, 2006:316).

Bandar Banjar
Kesultanan Banjarmasin  adalah kota perdagangan yang sudah lama maju dan lebih berkembang di kawasan Kalimantan. Kota-kota perdagangan di nusantara umumnya berdiri di daerah pesisir atau tepian sungai yang dapat dilayari arus lalu lintas perdagangan. Kota atau tempat pemukiman itu mendapat kunjungan ramai dari para pedagang dari segala bangsa. Pedagang-pedagang Malaka, yaitu pedagang bangsa Melayu sudah lama menetap di sekitar muara sungai Barito. Di sekitar muara Barito dikenal sekelompok suku Melayu yang oleh suku Dayak Ngaju disebut sebagai Oloh Masih.
Pada masa abad ke- 14 dan 15 di daerah Banjar telah berdiri kerajaan Hindu Negara Dipa dan Negara Daha. Berdasarkan Historiografi tradisional Hikayat Lambung Mangkurat pelabuhan Negara Dipa di Muara Bahan sangat ramai didatangi pedagang-pedagang asing. Mantri Perdagangan Negara Dipa Wiramartas dikenal mempunyai keahlian berbagai bahasa, diantaranya pandai berbahasa Cina, Melayu, Arab, sehingga mempermudah terjadinya hubungan perdagangan.
Majunya perdagangan Banjar setelah masa Sultan Mustain Billah membawa kemakmuran dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya. Dan pada pertengahan abad ke-17 akibat perebutan kekuasaan, ibukota kerajaan terbagi dua, di Banjarmasin di bawah Sultan Agung (Amirullah Bagus Kesuma) dan di Martapura di bawah Panembahan Ratu.
Pada abad ke-17 kerajaan Banjar terkenal sebagai penghasil lada. Pedagang-pedagang Banjar melakukan aktifitas di Banten sekitar tahun 1959. pada waktu itu 2 (dua) buah jukung (kapal) banjar dirampok oleh kompeni. Disamping itu Belanda berusaha melakukan hubungan dagang dengan kerajaan Banjar, dengan mengirimkan utusan pada tahun 1607, tidak mendapat sambutan dengan baik. Terjadi perlawanan yang mengakibatkan terbunuhnya seluruh utusan Belanda tersebut. Pada tahu 1612 Belanda mengadakan pembalasan dengan menyerbu, menembak dan membakar Keraton Banjar di Kuin Banjarmasin.
Potensi emas ini mendorong penduduk melakukan eksploitasi secara tradisional yang dikenal dengan ‘mandulang amas’ di daerah hulu sungai-sungai. Emas ini kemudian diperdagangkan ke istana-istana Sultan dan kepada pedagang-pedagang Hindu dan Cina. Menurut tradisi orang Dayak sendiri hampir tidak pernah membuat dan memakaii perhiasan emas (Sellato 1989a), tetapi perdagangan emas mempengaruhi kebudayaan pulau ini. Emas telah di ekspor dari Borneo bagian barat kira-kira sejak abad ke-13 dan menjelang akhir abad ke -17 pedagang-pedagang Cina telah mengumpulkan muatan-muatan emas di Sambas.
Selama berabad-abad emas diperoleh dalam skala kecil oleh penambang-penambang suku dayak, dengan mendulang debu emas di sungai-sungai. Dulang, yaitu sejenis baki yang dangkal terbuat dari kayu yang digunakan untuk mendulang emas, dijual di pasar-pasar setempat seperti Martapura.
Selain itu juga wilayah terkenal dengan Intan Martapura dimana kebiasaan penduduk daerah tersebut mencari intan. Intan mentah yang sudah didapat dan akan dijadikan berlian. Tempat penggosokan intan saat ini ialah di Martapura, dekat pinggir sungai Martapura.

Bandar Pontianak
Dengan posisi strategisnya pada jalur perdagangan dan pelayaran internasional menyebabkan banyaknya armada kapal asing yang datang ke bandar tersebut untuk mengadakan perdagangan baik secara langsung maupun barter. Berbagai jenis komoditi yang dijual dari para pedagang lokal yaitu seperti permata, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, pinang, sarang burung walet, kopra, lada, kelapa, dan sebagainya.
Secara ekonomi, kota Pontianak merupakan salah satu pelabuhan "penting" yang sudah sejak semula ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negeri. Dengan letak dan kedudukannya yang terdiri dari perairan Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Natuna -- ketiga jalur transportasi tersebut menghubungkan  kesultanan ini masing-masing dengan Batavia, Demak, kesultanan lainnya di utara Jawa, Banjarmasin, Kutai dan Paser; Palembang, Riau;  dan Deli, Malaka, dan Johor.
Menurut catatan Christian Pelras (seorang ilmuwan bangsa Prancis) menulis dalam bukunya bahwa sekitar abad 17 M orang Bugis (pedagang dari Wajo’ Makasar) sudah menyinggahi pelabuhan Pontianak dan Sambas. Pelabuhan Pontianak merupakan salah satu bandar tujuan dan singgahan dari kapal-kapal dagang dari Bugis. (Pelras, 2006:316).
Keunikan lain terletak pada letak geografisnya yang sangat strategis dan menguntungkan dari segi baik ekonomi dan social budaya maupun pertahanan dan keamanan (Hankam). Letaknya strategis ini memungkinkan kesultanan ini mampu bertindak sebagai kekuatan pengawas dalam hal pengumpulan/ pemasukan pajak dan pungutan lainnya, di satu fihak, serta penertiban di bidang Hankam, di lain fihak, terhadap penggunaan transportasi lalu lintas perairan di situ untuk tujuan perdagangan maupun kegiatan militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar