(1) dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah
bagi masyarakat secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis
ke mekanisme pasar. Kebijakan ini terbukti telah menyebabkan naiknya harga BBM,
yang kemudian mengakibatkan naiknya komoditas yang lain;
(2) nilai kurs rupiah diambangkan secara
bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak
IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar. Inilah yang menyebabkan
rupiah saat ini terus terpuruk, hingga menembus angka Rp. 10,000 per dolar;
(3) privatisasi BUMN, yang dilakukan dengan
menjual saham BUMN kepada pihak swasta nasional maupun asing, sehingga
kepemilikannya pun jatuh ke tangan individu (private);
(4) peran-serta Pemerintah Indonesia dalam
kancah Perdagangan Bebas (WTO) dan Perjanjian GATT yang semakin memperjelas
komitmen Indonesia untuk masuk dalam ‘kubangan’ liberalisasi ekonomi dunia atau
Kapitalisme global.
Privatisasi
adalah salah satu program yang dipaksakan IMF kepada Indonesia. Kalau kita
amati secara jeli, ide privatisasi adalah sebuah pemikiran dalam ideologi
Kapitalisme yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya terbatas pada
pengawasan pelaku ekonomi dan penegakan hukum. Pemikiran ini menetapkan pula,
bahwa jika sektor publik dibebaskan dalam melakukan usaha, investasi, dan
inovasi, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat meningkat.
Namun
kenyataannya, privatisasi merupakan cara IMF untuk merampok negara berkembang
yang kaya SDAE. Terpuruknya kondisi ekonomi suatu negara kemudian menjadi alat
untuk merampok kekayaannya. Untuk membayar utang yang semakin bertambah akibat
‘obat’ IMF, cara yang paling gampang tentu saja menjual aset-aset negara (BUMN)
lewat program privatisasi dan divestasi saham Pemerintah pada perusahaan swasta
yang diambil-alih oleh Pemerintah.
Cara lain
adalah dengan mengurangi bahkan menghilangkan segala bentuk subsidi; mulai dari
BBM, listrik, pendidikan, sampai kesehatan. Terang saja, yang paling menderita
adalah rakyat. Privatisasi justru tidak mensejahterakan, malah berbahaya bagi
rakyat dan negara, antara lain:
Aset-aset
penting suatu negara akan terkonsentrasi pada segelintir individu atau
perusahaan yang memiliki modal besar serta kecanggihan manajemen, teknologi,
dan strategi. Artinya, mayoritas masyarakat tercegah untuk mendapatkan dan
memanfaatkan aset tersebut yang pada akhirnya hanya beredar pada orang-orang
kaya saja.
Sebagai
dampak privatisasi dalam pasar bebas adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah
menjadi lemah, sebaliknya posisi swasta menjadi kuat. Hal ini memungkinkan
pihak swasta mampu mempengaruhi kebijakan Pemerintah. Akibatnya, akan terjadi
dominasi minoritas orang kaya (swasta) terhadap mayoritas rakyat jelata.
2. Negara-negara
berkembang akan menjadi terbuka bagi masuknya investor asing, baik perorangan
maupun perusahaan. Kondisi ini pada gilirannya akan mengakibatkan
kebergantungan pada pihak asing. Para investor asing jelas akan mencari laba
sebesar-besarnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa mempedulikan
kebutuhan rakyat terhadap barang dan jasa.
3. Pengalihan
kepemilikan, khususnya di sektor industri dan pertanian, dari kepemilikan
negara menjadi kepemilikan individu, umumnya akan mengakibatkan PHK atau paling
tidak pengurangan gaji pegawai. Sebab, investor dalam sistem kapitalis
cenderung beranggapan bahwa efisiensi akan mudah dicapai dengan teknologi padat
modal dan bukan dengan teknologi padat karya. Akibatnya, PHK atau pengurangan
pegawai adalah jalan termudah dan tercepat untuk mencapai itu. Pada gilirannya,
jumlah pengangguran dan orang miskin akan bertambah.
4. Menghapus
kepemilikan umum atau kepemilikan negara, artinya negara melepaskan diri dari
kewajiban-kewajiban terhadap rakyat. Negara tidak sanggup lagi melaksanakan
banyak tanggungjawab yang harus dipikulnya, karena negara telah kehilangan
sumber-sumber pendapatannya sehingga negara tidak akan mampu lagi memenuhi
secara sempurna kebutuhan pokok rakyatnya.
5. Negara
akan kekurangan sumber pendapatannya sehingga disibukkan dengan mencari
sumber-sumber pendapatan lain untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang
telah dijualnya. Negara akan memaksakan berbagai jenis pajak yang pada akhirnya
akan melambungkan harga-harga dan tarif-tarif yang membebani rakyat.
Privatisasi + Pasar bebas = Penjajahan
Dalam
pandangan ahli ekonomi barat yang beraliran neo-liberal harus ada liberalisasi
perdagangan dalam bentuk pasar bebas. Agenda utama liberalisasi perdagangan
adalah penghapusan hambatan non-tarif (proteksi) dan penurunan tarif
perdagangan dalam transaksi perdagangan internasional. Tujuannya menurut ekenom
neo-liberal untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan antarnegara di
seluruh dunia. Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan menjadi motor
penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman
dan Obstfeld, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002).
Bila kita cermati lebih jauh, alasan
sebenarnya dari konsep Perdagangan Bebas yang dikembangkan negara-negara Barat
untuk melakukan liberalisasi perdagangan dunia sebagaimana dintroduksikan oleh kesepakatan
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) melalui Putaran Uruguay yaitu dengan Pasar Bebas yang
menjadikan perdagangan lintas negara tanpa hambatan apa pun.
Memang kebijakan pasar bebas mempunyai
berbagai argumentasi ekonomi :
·
Pertama, bahwa adanya proteksi
perdagangan menyebabkan ekonomi terdistorsi dan ekonomi tidak efisien karena
ekonomi pasar tidak berjalan.
·
Kedua, dengan pasar bebas setiap
negara akan terpacu untuk bersaing secara sehat dalam percaturan internasional.
·
Ketiga, Pasar Bebas adalah
konsekuensi logis dari tata dunia baru (globalisasi).
Ide Politik Pasar Bebas adalah mengubah
keadaan dunia menjadi “Pasar Bebas”, membuka pasar negara-negara di dunia bagi
penanaman modal asing, dan mengeliminasi peran negara untuk mengatur
perekonomian dengan melakukan privatisasi sektor publik. Tujuan terakhir ini
khususnya diarahkan kepada negara-negara dengan sektor publik yang menempati
proporsi tinggi dalam kegiatan perekonomian mereka. Artinya, keberadaan sektor
publik ini telah dianggap menghalangi kemunculan peran dan pertumbuhan
kepemilikan individu (privat property).
Upaya menghilangkan intervensi (campur
tangan) negara dalam perdagangan khususnya dan dalam kegiatan perekonomian pada
umumnya, dimana negara-negara maju (seperti AS) berusaha menggiring
negara-negara di dunia untuk menghilangkan hambatan tarif (bea masuk) dan
rintangan apa pun dalam perdagangan internasional; termasuk di dalamnya
kebijakan proteksi perdagangan secara langsung—seperti larangan impor komoditas
tertentu untuk memproteksi produk dalam negeri dari persaingan—maupun kebijakan
proteksi tidak langsung seperti penetapan tarif yang tinggi untuk sebagian
barang impor, pemberian subsidi untuk sebagian produk dalam negeri, dan
penetapan kuota untuk mencegah pertukaran perdagangan.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan itu, AS dan
negara-negara kapitalis besar telah mengadakan berbagai perjanjian perdagangan
internasional dan membentuk kelompok-kelompok ekonomi seperti NAFTA
(beranggotakan AS, Kanada, dan Meksiko); Pasar Bersama Eropa; APEC yang
beranggotakan negara-negara NAFTA, Australia, Selandia Baru, Jepang, Indonesia,
dan negara-negara macan Asia, yang semuanya berada di sekitar Lautan Pasifik.
Selain itu, AS juga telah menjadikan ketujuh
negara industri kaya yaitu negara G-7 sebagai instrumen untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan ekonomi, keuangan, dan perdagangan internasional, serta
untuk menjamin dan mengontrol pelaksanaan semua kebijakan itu. Ini semua
merupakan langkah yang ditempuh AS untuk melegitimasi semua kebijakan tersebut
menjadi undang-undang internasional, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan
di sektor perdagangan.
AS juga memanfaatkan WTO (World
Trade Organization) untuk mewujudkan tujuannya. Sebelum WTO berdiri, GATT
(General Agreement on Tariff and Trade) atau perjanjian umum tentang
tarif dan perdagangan tetap menjadi
rujukan bagi perdagangan internasional hingga beberapa tahun. Hampir semua
negara di dunia terikat dengan GATT, baik negara-negara yang menandatanganinya
maupun yang tidak.
Namun, karena GATT hanya mengatur hubungan
perdagangan antar negara, dan tidak memberi otoritas kepada AS untuk mengatur
kebijakan ekonomi dan perdagangan dalam negeri yang diambil oleh negara-negara
di dunia, AS pun merasa bahwa GATT tidak
memadai lagi untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Karena itu, AS kemudian
mengambil langkah baru untuk menggantinya dengan WTO, yang kelahirannya telah
diumumkan di Maroko tahun 1994.
Tak lama kemudian, mayoritas negara di dunia
pun ramai-ramai menandatangani perjanjian baru tersebut dan bergabung dengan
organisasi baru itu. Tentu, ini adalah hasil berbagai tekanan yang dilancarkan
oleh AS terhadap negara-negara di dunia untuk mewujudkan tujuannya.
Aspek
terpenting dari perjanjian baru itu ialah adanya otoritas yang diberikan kepada
negara-negara kapitalis kaya dan berpengaruh — dengan AS sebagai gembongnya — untuk
mengintervensi urusan ekonomi dan perdagangan negara-negara yang terikat dengan
perjanjian itu secara umum melalui peraturan yang dirancang oleh negara-negara
berpengaruh tersebut.
Konglomerasi pemodal asing juga mendapatkan keuntungan terbesar dari
agenda-agenda kebijakan neoliberal yang diterapkan di Indonesia. Dimana Agenda-agenda
tersebut lahir lewat belitan utang yang dikucurkan lembaga-lembaga keuangan
multilateral (IMF dan World Bank), AS memiliki kekuasaan dan wewenang paling
besar dalam mengontrol lembaga-lembaga tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar