Find us on Google+ Ekologi Nusantara: BAHAYA PRIVATISASI IMF

Minggu, 16 September 2012

BAHAYA PRIVATISASI IMF

Sudah maklum dalam ingatan kita, ‘wabah privatisasi’ mulai merajalela tatkala Indonesia dilanda badai krisis moneter yang menyedihkan pada masa-masa akhir rezim Orba. Pemerintah saat itu mengambil kebijakan yang salah, yakni mengemis kepada IMF dan mengikuti resep-resepnya. Beberapa resep IMF terbukti bukan ‘menyembuhkan’, tetapi justru sebaliknya: ‘mematikan’.


Di antaranya:
(1) dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah bagi masyarakat secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar. Kebijakan ini terbukti telah menyebabkan naiknya harga BBM, yang kemudian mengakibatkan naiknya komoditas yang lain;
(2) nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar. Inilah yang menyebabkan rupiah saat ini terus terpuruk, hingga menembus angka Rp. 10,000 per dolar;
(3) privatisasi BUMN, yang dilakukan dengan menjual saham BUMN kepada pihak swasta nasional maupun asing, sehingga kepemilikannya pun jatuh ke tangan individu (private);
(4) peran-serta Pemerintah Indonesia dalam kancah Perdagangan Bebas (WTO) dan Perjanjian GATT yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam ‘kubangan’ liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.
Privatisasi adalah salah satu program yang dipaksakan IMF kepada Indonesia. Kalau kita amati secara jeli, ide privatisasi adalah sebuah pemikiran dalam ideologi Kapitalisme yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya terbatas pada pengawasan pelaku ekonomi dan penegakan hukum. Pemikiran ini menetapkan pula, bahwa jika sektor publik dibebaskan dalam melakukan usaha, investasi, dan inovasi, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat meningkat.
Namun kenyataannya, privatisasi merupakan cara IMF untuk merampok negara berkembang yang kaya SDAE. Terpuruknya kondisi ekonomi suatu negara kemudian menjadi alat untuk merampok kekayaannya. Untuk membayar utang yang semakin bertambah akibat ‘obat’ IMF, cara yang paling gampang tentu saja menjual aset-aset negara (BUMN) lewat program privatisasi dan divestasi saham Pemerintah pada perusahaan swasta yang diambil-alih oleh Pemerintah.
Cara lain adalah dengan mengurangi bahkan menghilangkan segala bentuk subsidi; mulai dari BBM, listrik, pendidikan, sampai kesehatan. Terang saja, yang paling menderita adalah rakyat. Privatisasi justru tidak mensejahterakan, malah berbahaya bagi rakyat dan negara, antara lain: 
Aset-aset penting suatu negara akan terkonsentrasi pada segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar serta kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Artinya, mayoritas masyarakat tercegah untuk mendapatkan dan memanfaatkan aset tersebut yang pada akhirnya hanya beredar pada orang-orang kaya saja.
Sebagai dampak privatisasi dalam pasar bebas adalah sebagai berikut :
1.   Pemerintah menjadi lemah, sebaliknya posisi swasta menjadi kuat. Hal ini memungkinkan pihak swasta mampu mempengaruhi kebijakan Pemerintah. Akibatnya, akan terjadi dominasi minoritas orang kaya (swasta) terhadap mayoritas rakyat jelata.
2.   Negara-negara berkembang akan menjadi terbuka bagi masuknya investor asing, baik perorangan maupun perusahaan. Kondisi ini pada gilirannya akan mengakibatkan kebergantungan pada pihak asing. Para investor asing jelas akan mencari laba sebesar-besarnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa mempedulikan kebutuhan rakyat terhadap barang dan jasa.
3.   Pengalihan kepemilikan, khususnya di sektor industri dan pertanian, dari kepemilikan negara menjadi kepemilikan individu, umumnya akan mengakibatkan PHK atau paling tidak pengurangan gaji pegawai. Sebab, investor dalam sistem kapitalis cenderung beranggapan bahwa efisiensi akan mudah dicapai dengan teknologi padat modal dan bukan dengan teknologi padat karya. Akibatnya, PHK atau pengurangan pegawai adalah jalan termudah dan tercepat untuk mencapai itu. Pada gilirannya, jumlah pengangguran dan orang miskin akan bertambah.
4.  Menghapus kepemilikan umum atau kepemilikan negara, artinya negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban terhadap rakyat. Negara tidak sanggup lagi melaksanakan banyak tanggungjawab yang harus dipikulnya, karena negara telah kehilangan sumber-sumber pendapatannya sehingga negara tidak akan mampu lagi memenuhi secara sempurna kebutuhan pokok rakyatnya.
5.  Negara akan kekurangan sumber pendapatannya sehingga disibukkan dengan mencari sumber-sumber pendapatan lain untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang telah dijualnya. Negara akan memaksakan berbagai jenis pajak yang pada akhirnya akan melambungkan harga-harga dan tarif-tarif yang membebani rakyat.

Privatisasi + Pasar bebas = Penjajahan
Dalam pandangan ahli ekonomi barat yang beraliran neo-liberal harus ada liberalisasi perdagangan dalam bentuk pasar bebas. Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah penghapusan hambatan non-tarif (proteksi) dan penurunan tarif perdagangan dalam transaksi perdagangan internasional. Tujuannya menurut ekenom neo-liberal untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan antarnegara di seluruh dunia. Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman dan Obstfeld, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002).
Bila kita cermati lebih jauh, alasan sebenarnya dari konsep Perdagangan Bebas yang dikembangkan negara-negara Barat untuk melakukan liberalisasi perdagangan dunia sebagaimana dintroduksikan oleh kesepakatan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) melalui Putaran  Uruguay yaitu dengan Pasar Bebas yang menjadikan perdagangan lintas negara tanpa hambatan apa pun. 
Memang kebijakan pasar bebas mempunyai berbagai argumentasi ekonomi :
·         Pertama, bahwa adanya proteksi perdagangan menyebabkan ekonomi terdistorsi dan ekonomi tidak efisien karena ekonomi pasar tidak berjalan. 
·         Kedua, dengan pasar bebas setiap negara akan terpacu untuk bersaing secara sehat dalam percaturan internasional.
·         Ketiga, Pasar Bebas adalah konsekuensi logis dari tata dunia baru (globalisasi).
Ide Politik Pasar Bebas adalah mengubah keadaan dunia menjadi “Pasar Bebas”, membuka pasar negara-negara di dunia bagi penanaman modal asing, dan mengeliminasi peran negara untuk mengatur perekonomian dengan melakukan privatisasi sektor publik. Tujuan terakhir ini khususnya diarahkan kepada negara-negara dengan sektor publik yang menempati proporsi tinggi dalam kegiatan perekonomian mereka. Artinya, keberadaan sektor publik ini telah dianggap menghalangi kemunculan peran dan pertumbuhan kepemilikan individu (privat property).
Upaya menghilangkan intervensi (campur tangan) negara dalam perdagangan khususnya dan dalam kegiatan perekonomian pada umumnya, dimana negara-negara maju (seperti AS) berusaha menggiring negara-negara di dunia untuk menghilangkan hambatan tarif (bea masuk) dan rintangan apa pun dalam perdagangan internasional; termasuk di dalamnya kebijakan proteksi perdagangan secara langsung—seperti larangan impor komoditas tertentu untuk memproteksi produk dalam negeri dari persaingan—maupun kebijakan proteksi tidak langsung seperti penetapan tarif yang tinggi untuk sebagian barang impor, pemberian subsidi untuk sebagian produk dalam negeri, dan penetapan kuota untuk mencegah pertukaran perdagangan.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan itu, AS dan negara-negara kapitalis besar telah mengadakan berbagai perjanjian perdagangan internasional dan membentuk kelompok-kelompok ekonomi seperti NAFTA (beranggotakan AS, Kanada, dan Meksiko); Pasar Bersama Eropa; APEC yang beranggotakan negara-negara NAFTA, Australia, Selandia Baru, Jepang, Indonesia, dan negara-negara macan Asia, yang semuanya berada di sekitar Lautan Pasifik.
Selain itu, AS juga telah menjadikan ketujuh negara industri kaya yaitu negara G-7 sebagai instrumen untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi, keuangan, dan perdagangan internasional, serta untuk menjamin dan mengontrol pelaksanaan semua kebijakan itu. Ini semua merupakan langkah yang ditempuh AS untuk melegitimasi semua kebijakan tersebut menjadi undang-undang internasional, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan di sektor perdagangan.
AS juga memanfaatkan WTO (World Trade Organization) untuk mewujudkan tujuannya. Sebelum WTO berdiri, GATT (General Agreement on Tariff and Trade) atau perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan  tetap menjadi rujukan bagi perdagangan internasional hingga beberapa tahun. Hampir semua negara di dunia terikat dengan GATT, baik negara-negara yang menandatanganinya maupun yang tidak.
Namun, karena GATT hanya mengatur hubungan perdagangan antar negara, dan tidak memberi otoritas kepada AS untuk mengatur kebijakan ekonomi dan perdagangan dalam negeri yang diambil oleh negara-negara di dunia,  AS pun merasa bahwa GATT tidak memadai lagi untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Karena itu, AS kemudian mengambil langkah baru untuk menggantinya dengan WTO, yang kelahirannya telah diumumkan di Maroko tahun 1994.
Tak lama kemudian, mayoritas negara di dunia pun ramai-ramai menandatangani perjanjian baru tersebut dan bergabung dengan organisasi baru itu. Tentu, ini adalah hasil berbagai tekanan yang dilancarkan oleh AS terhadap negara-negara di dunia untuk mewujudkan tujuannya.
Aspek terpenting dari perjanjian baru itu ialah adanya otoritas yang diberikan kepada negara-negara kapitalis kaya dan berpengaruh — dengan AS sebagai gembongnya — untuk mengintervensi urusan ekonomi dan perdagangan negara-negara yang terikat dengan perjanjian itu secara umum melalui peraturan yang dirancang oleh negara-negara berpengaruh tersebut. 
Konglomerasi pemodal asing juga mendapatkan keuntungan terbesar dari agenda-agenda kebijakan neoliberal yang diterapkan di Indonesia. Dimana Agenda-agenda tersebut lahir lewat belitan utang yang dikucurkan lembaga-lembaga keuangan multilateral (IMF dan World Bank), AS memiliki kekuasaan dan wewenang paling besar dalam mengontrol lembaga-lembaga tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar