Dalam satu
kesempatan paska bencana tsunami di Aceh, seorang pejabat di Kalimantan pernah
bertanya berapa besar peluang bencana tsunami di Kalimantan. Jika kita melihat
ke belakang dalam masa 10 tahun terakhir ini banyak
bencana lingkungan yang menimpa negeri kita, mulai dari bencana tsunami di
Aceh, bencana banjir tahunan Jakarta, dari
bencana lumpur Sidoarjo, serta kebakaran
hutan dan kabut asap di Kalimantan dan Sumatra .
Kalimantan pulau yang paling aman dari bencana.
Slogan itu disampaikan pejabat-pejabat dalam banyak kesempatan sosialisasi
kepada rakyat. Belajar dari pengalaman buruk masa lalu
aspek lingkungan memang jarang dijadikan bahan pertimbangan bagi para pelaku pembangunan pada saat ini. Lalu apakah kita tidak pernah
mau belajar untuk menghadapi masa depan kita di Kalimantan akan berulang dalam
bencana ???.
Kalimantan Tenggelam
Sesuatu yang tidak tampak dimata mulai berjalan
secara perlahan disadari ataupun tidak. Menurut Badan Nasional Perubahan Iklim
(2008) kota-kota pesisir pantai di nusantara akan terkena dampak global warming
pada tahun 2030. Untuk di Kalimantan 4
kota utama seperti Bbanjarmasin, Sampit, Pontianak dan Singkawang diperkirakan
akan tenggelam secara perlahan. Beberapa diantaranya mulai dirasakan dampaknya
hari ini di kota-kota yang rendah tersebut. So mari kita rasakan kejadian
perlahan ini tahun demi tahun.
Kalimantan
berpotensi menerima bencana banjir ketika masuk musim hujan. Hal ini dapat
dilihat dari kasus yang muncul selama beberapa tahun terakhir ketika Kalimantan
menghadapi suatu tradisi alam yang relatif baru bagi masyarakat yaitu datangnya
banjir kiriman. Hanya dalam dua hari hujan turun terus menerus banjir langsung
merendam seluruh kota. Marilah
kita lihat kota seprti Pontianak, Sampit, Banjarmasin, yang
paling mengkhawatirkan tradisi banjir di beberapa tempat dapat terjadi sampai 2
kali dalam setahun.
Dalam peristiwa
banjir terakhir pada 2006 yang lalu, berhasil menenggelamkan 8 kabupaten di
Kalteng. Masing-masing kedelapan kabupaten itu di Lamandau, Kotawaringin Barat,
Kotawaringin Timur, Seruyan, Katingan, Murung Raya, Barito Utara dan Barito
Selatan. Padahal sebelumnya tak pernah ada banjir di daerah ini. Luapan air
dari banjir kiriman ini tidak hanya menimpa daerah yang berada di sekitar
bantaran sungai di perkotaan dan pedesaan. Akan tetapi beberapa daerah hulu
sungai juga akhirnya diterjang banjir
ini. (Kalteng Pos, 30 Juni 2007).
Menurut Sri Sayuto
Kepala Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan, curah hujan Kalteng
yang cukup tinggi perlu diwaspadai warga. Sebab daerah banjir itu berada di
daerah yang secara geografis bergelombang dengan tingkat kerusakan hutan yang
cukup parah. Kondisi hutan di daerah itu yang rusak parah menyebabkan curah
hujan yang tinggi tidak mampu diserap air hujan ini. (Palangka Post, 28 Juni 2006).
Dampak tradisi
banjir ini telah menyebabkan lumpuhnya perekonomian selama berminggu- minggu.
Belum lagi berbagai dampak penyakit yang ditinggalkan oleh lumpur, sampah, dan
berbagai limbah yang dibawa dari berbagai tempat. Munculnya wabah penyakit yang
akan menyerang sumber-sumber air minum dan tempat tinggal masyarakat. Ketika
air sungai yang berwarna coklat berubah menjadi kekuningan yang mengandung
lumpur, bila digunakan akan menyebabkan gatal-gatal di seluruh tubuh warga.
Padahal sebelumnya warga sudah biasa mandi, cuci dan kakus dengan air dari sungai
itu. (Palangka Post, 10 Juli 2006).
Ekspor asap
Satu hal
yang cukup mengerikan bagi orang yang baru pertama kali bermukim di Kalimantan
bahwa selama 3 bulan dalam setahun akan senantiasa melihat kabut asap. Akan
tetapi dari tahun ke tahun pembakaran lahan dan hutan semakin menjadi luas
wilayahnya.
Kabut ini
memang berasal dari pembakaran lahan dalam skala kecil oleh para petani
tradisional. Memang sudah menjadi tradisi dalam pertanian tradisional dimana
masyarakat Kalimantan selama musim kering, akan menganggap asap sebagai bagian
yang harus dikorbankan untuk bertani. Sehingga asap akan menjadi suatu
pemandangan umum dalam di Kalimantan.
Utamanya
ketika memasuki musim kering yang terjadi antara bulan Agustus sampai Oktober,
para petani akan membersihkan lahannya dengan membakar lahan. Dengan memakai
metode tebas bakar untuk menyiapkan lahan, para petani menganggap metode ini
murah dan praktis karena tidak membutuhkan uang, waktu dan tenaga yang besar.
Menurut
Suwido H. Limin (2006) dari dua tahun kebakaran hutan dan lahan sebagian besar
yang terjadi di lahan gambut menyebabkan timbulnya kabut asap. Kebakaran di
tahun 2006 sejak bulan Agustus sampai November 2006 disebabkan oleh manusia 100
%. Buktinya dapat ditelusuri dari munculnya titik api selalu dimulai dari
jalan, sungai, dan danau yang sering dilalui manusia.
Pendapat
ini semakin diperkuat dengan foto udara yang berasal dari citra satelit yang
menunjukkan bahwa sebagian besar titik api ini berasal dari lokasi yang
dimiliki oleh perkebunan sawit. Hal ini membuat polemik di antara pemerhati
lingkungan dan para investor yang menolak untuk dituduh sebagai biang penyebab
terjadinya kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar.
Menurut
Kepala Badan Pengelola dan Pelestari Lingkungan Hidup Daerah Moses Nicodemus,
data terakhir tingkat kerusakan hutan di Kalteng pada tahun 2004 menunjukkan
lahan kritis Kalteng seluas 4,78 juta hektar dari total luas sekitar 15,3 juta
hektar. Sampai saat ini telah terjadi kerusakan hutan yang terdiri dari lahan
sangat kritis seluas 1.108.255 hektar, lahan kritis seluas 1.295.251 hektar,
dan lahan agak kritis 2.371.827 hektar. Sebagian besar lahan kritis tersebut
berada dalam Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan dan Kawasan Pemukiman dan
Penggunaan Lainnya (KPPL) (Palangka Post, 29 Januari 2007).
Pemerintah
kemudian mencoba membuatkan upaya preventif untuk menghindari kebakaran hutan
dan lahan ini dengan membuat kebijakan dan perda penanggulangan kebakaran
hutan. Namun meskipun sudah ada rambu peraturan yang dibuat berupa Perda
Kebakaran Hutan dan Lahan, tetapi asap terus mengepul. Gangguan dan kerugian
terus berlangsung sejalan dengan proyek antisipasi kebakaran hutan yang juga
terus berjalan namun semuanya sia-sia.
Krisis air
Di masa depan
Kalimantan akan terancam dengan krisis air. Pembukaan lahan sawit dalam luasan
ratusan ribu hektar untuk setiap perusahaan menjadi ancaman utama bagi
kelestarian air. Sebuah pohon sawit dalam sehari mampu menyerap 15 – 40 liter
air dalam sehari. Lalu bagaimana sumur-sumur rakyat tidak akan kering.
Bencana ini akan
datang ketika sungai-sungai besar sebagai sumber kehidupan masyarakat mengalami
kekeringan dan pencemaran. Semua ini akibat dari over-eksploitasi terhadap
sumber daya hutan yang berada pada daerah hulu sungai. Sebenarnya di Kalimantan
Tengah terdapat 11 sungai besar yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
berperan sebagai kawasan penyangga kehidupan bagi sebagian besar masyarakat.
Masyarakat lokal baik dari kalangan Melayu maupun Dayak lokal yang membangun
pemukiman di sepanjang DAS kebudayaannya sangat bergantung dengan keberadaan
sungai-sungai besar ini sebagai sarana transportasi, mandi cuci kakus (MCK),
pertanian, dan lainnya .
Menurut Alue
Dohong Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian, Pendidikan dan Pelatihan
Lingkungan Hidup (LP3LH) Kalteng pada saat ini dampak kesulitan air ini belum
dirasakan namun dalam 10- 15 tahun mendatang baru akan terasa sulitnya mencari
air bersih.
Akan tetapi
fakta-fakta yang terjadi di tahun 2006 ketika musim kering melanda beberapa
kabupaten yang merasakan krisis air bersih ini telah membuktikan krisis ini.
Ketika musim kemarau datang selama 5 bulan, telah membawa dampak persediaan air
di sumur-sumur masyarakat mengering.
Kita bisa melihat
kasus ini di Kabupaten Murung Raya, kabupaten Lamandau dan Kabupaten Sukamara
yang telah merasakan akibatnya. Hanya dalam waktu 3 bulan kemarau saja telah
menyebabkan kekeringan yang parah sehingga banyak masyarakat harus rela mencari
air berkilo-kilo meter jauhnya dan masuk ke dalam hutan untuk sekedar mendapatkan
persediaan air bersih.
Akan
tetapi dengan sistem pemerintahan otonomi daerah yang sekarang ini diberlakukan
di Indonesia, masalah sumber daya air diperlakukan menurut keinginan
masing-masing pemerintah daerah. Padahal sumber daya air tidak mengenal batas-batas
administrasi kewilayahan. Mungkin saja daerah resapan air tanah berada di suatu
kabupaten / propinsi terletak di kabupaten atau propinsi lain.
Menurut
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengatur pengelolaan
sumber daya air berdasarkan prinsip yang mampu menyelaraskan fungsi sosial,
lingkungan hidup dan ekonomi. Faktor ekonomi inilah yang menjadi kekhawatiran
sebagian pihak bahwa air akan menjadi komoditi yang bisa diperdagangkan oleh
badan usaha, perusahaan swasta atau perorangan yang telah mendapat izin
dari yang berwenang.
Dalam
prakteknya fihak yang telah mendapatkan izin memiliki hak untuk mengeksploitasi
sumber daya hutan di wilayah pertambangan atau perkebunan, memanfaatkannya
untuk mendapatkan keuntungan usahanya. Pada hal dampak kekurangan air akibat
eksploitasi oleh investor ini akan diderita oleh masyarakat. Ini berarti bahwa
akses masyarakat akan sumber air akan makin sulit.
Karena
air adalah sebagai yang menentukan kehidupan banyak orang, maka
Pemerintah Daerah, dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya,
akan cenderung lebih senang memberikan konsesi “pemanfaatan” sumber air yang
terdapat di daerahnya kepada investor pertambangan atau
perkebunan yang akan membayar lebih tinggi dalam bentuk pajak dibandingkan
apabila digunakan sebagai kawasan konservasi atau lahan pertanian rakyat .
“ Telah tampak kerusakan di
daratan dan di lautan disebabkan ulah manusia, supaya Allah menimpakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar). [ QS
ar-Rum {30} : 41 ].
Saksikanlah
ya Allah kami telah menyampaikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar